@Jarak
Oleh Rio Rahadian Tuasikal
Kilometer
53, hentakan drum terdengar di minibus ini. Dari earphone putih miliknya, Lingga, seorang pemuda bertopi, sedang mendengarkan
lagu. Rabu (8/5) pagi itu, kami berdua sedang naik travel dari Bandung ke
Jakarta. Bersama tiga penumpang lain dan satu supir, kami sedang melintasi tol
Cipularang.
Sudah
sejak berangkat, sekitar 90 menit sebelumnya, Lingga asyik dengan musik. Saat
kami baru keluar shuttle di kawasan
Surapati, Bandung, Lingga langsung menempelkan earphone ke iPhone miliknya. Dia sekilas memilih lagu dan langsung menyakukan
ponsel ke celananya yang hitam.
Sepanjang
perjalanan hingga kilometer 32, tak sekalipun kami saling sapa. Senyum
basa-basi juga tidak ada. Lingga yang berkemeja merah itu memang tidak mengenal
saya, begitu pun sebaliknya. Kami hanya kebetulan satu kendaraan, dan duduk
bersebelahan. Nama Lingga sendiri saya dapat dari tiket yang digenggamnya,
bukan hasil berkenalan.
Saat
perjalanan berlanjut, sambil terus mendengarkan musik dari iPhone-nya, Lingga
keluarkan blackberry-nya. Sekarang giliran Twitter yang dia jajal, lalu
Blackberry Messenger, lalu Twitter lagi. Begitu nyaris sampai Cikini, Jakarta,
dia selesai dengarkan musik. Di iPhone itu, kini dia membuka Apple Maps, sebuah
peta dunia dari Apple.
Bermain Jarak dengan Kicauan
Apa
yang terjadi di atas sudah diramalkan Martin Heidegger pada 1953. Dalam
bukunya, Question Concerning Technology,
dia menulis, “teknologi telah merubah persepsi manusia tentang ruang dan waktu.”
Menurutnya, teknologi membuat jarak menjadi hilang. Maka, kini untuk sekadar berbincang
tak selalu harus bertemu.
Sepanjang
sejarah, jarak-jarak antara manusia telah dipotong oleh surat, lalu telegraf,
telepon, ponsel dan akhirnya internet. Lewat internet, kata Andreas Harsono,
sekarang setiap orang bisa jadi penerbit dengan bikin blog, bisa siaran dengan
YouTube atau Vimeo, bisa jadi komentator dengan Facebook atau Twitter[1].
Sebagai
situs jejaring sosial yang diluncurkan Juli 2006 lalu, Twitter telah jadi
jembatan sepanjang ribuan kilometer. Pada 2012 saja, Twitter telah
menghubungkan 500 juta pengguna lewat kicau. Dari luas bumi yang 512 juta
kilometer persegi, menjadi monitor 14 sampai 3 inchi. Sebuah bukti bahwa publik
makin tertarik pada fasilitas ekspresi 140 karakter ini.
Sebagai
bagian internet, fungsi pangkas jarak adalah salah satu fungsi Twitter. Fungsi
itu pula yang dilirik presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dia membuat akun
@SBYudhoyono awal April kemarin. Pada kicau ketujuhnya yang menyapa
@tifsembiring, SBY menulis, “Terimakasih
pak Tifatul, mari sama-sama kita perluas komunikasi pada masyarakat.”
Fungsi
Twitter lainnya, follow, telah menjadi tolak ukur popularitas seseorang. Akun @agnezmo tercatat
sebagai yang paling banyak diikuti se-Indonesia dengan 7,5 juta pengikut.
Menyusul @SherinaMunaf dengan 5,9 juta pengikut. SBY sendiri, meski baru satu
bulan bergabung, sudah diikuti lebih dari 2 juta orang.
Melalui
Twitter itu, baik Agnes Monica, Sherina Munaf, SBY dan 500 juta pengguna
lainnya tak perlu menemui penggemarnya satu per satu. SBY tak perlu berkeliling
dari Sabang ke Merauke menyapa rakyatnya. Cukup dengan berkicau, maka
perbincangan sudah bisa dilakukan. Maka inilah apa yang disebut Marshall
McLuhan sebagai “global village”.
Sebutlah
saja penggemar Agnes yang, meski terpaut jarak 16 ribu kilometer Indonesia dan
Amerika, tetap mendukung sang idola yang sedang memandu American Music Awards
pada 2010. Samudera Pasifik yang membatasi kedua negara ini jadi selebar keypad ponsel saja. Twitter sudah menjaga
mereka tetap dekat dan erat secara psikologis.
Namun
Twitter ibarat pisau bermata dua. Salah-salah, bukannya keuntungan yang didapat
melainkan sebaliknya. Di Mesir sana, Twitter mampu merobohkan dinding penguasa
pada 2011. Di banyak tempat lainnya, Twitter bisa membangun dinding-dinding baru.
Itulah
juga yang terjadi pada Lingga di perjalanan kami. Aplikasi Twitter telah membuat Lingga
menembus
jarak pada temannya. Namun, Twitter pula yang membuat jarak pada orang
yang duduk di sebelahnya. Pada pagi itu, jarak
bukan lagi dalam hitungan sentimeter, kaki atau kilometer. Jarak hanya soal keputusan.
“Tatap Muka Takkan Bisa Digantikan”
Demikian
disebutkan oleh Deddy Mulyana, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad.
Menurutnya, secanggih apa pun teknologi yang diciptakan manusia, percakapan
langsung tetap takkan terganti. Kalaulah kini sudah ada panggilan video, katanya,
ekspresi sentuhan tetap tak bisa dikirimkan.
Meski
demikian terbatas, pada nyatanya Twitter, BBM, Facebook, Yahoo Messenger dan
SMS masih digunakan hingga kini. Makin kemari, berkembang pula berbagai
aplikasi untuk tukar pesan seperti WhatsApp, Line, WeChat, CacaoTalk dan
lainnya.
Kembali
ke perjalanan yang saya lakukan. Di hari yang sama, petangnya, saya naik kereta
dari Jakarta ke Bogor. Begitu menaiki Commuter di Stasiun Cikini, saya yang
berdiri bertemu Lingga-Lingga lainnya. Sebanyak 8 orang duduk di depan saya.
Dari semuanya, hanya 2 yang tak sedang memakai ponsel. Sedangkan 2 orang lain memakai
earphone, 2 orang browsing, 1 orang sedang
SMS, 1 orang lagi BBM.
“Betul,
ini saja ide feature saya,” ucap saya dalam hati. Segera saya mencatatnya di
memo ponsel. Belum saya memasukkan ponsel ke saku, 4 orang di kanan kiri saya
sudah keluarkan ponselnya. Ada yang SMS dan BBM. Maka, saat itu, sepuluh orang
di dekat saya menggunakan ponsel bersamaan.
Sampai
di Stasiun Pasar Minggu, Commuter yang saya naiki harus terhenti selama satu
jam akibat antrean kereta. Di perhentian itu, seorang ibu hamil diajak
berbincang oleh penumpang di sebelahnya. Mereka saling tanya dan tersenyum.
Seorang bapak bertanya pada orang di depannya soal kenapa kereta berhenti.
Menit
demi menit lewat, pegas kereta kini terdengar. Kereta ini lalu mulai bergerak
perlahan. Saya sempatkan pindah dari dekat pintu ke sambungan gerbong, lalu duduk
di situ. Baru dua menit berjalan, kereta terhenti lagi. Saya membuka Google
Maps untuk cek lokasi. Rupanya belum sampai Tanjung Barat.
“Pak,
minta sedekahnya, Pak,” ujar seorang bapak berbaju biru yang sedang jongkok di
depan saya. Dia menengadahkan telapak tangannya. Saat saya menoleh, dia
tersenyum lalu terkekeh. Rupanya dia hanya bercanda. Seorang bapak berkemeja
ungu menyusul ikut tertawa.
“Bapak
naik dari mana?” tanya bapak baju biru pada bapak kemeja ungu.
“Dari
Manggarai, sampai sini sudah tiga jam,” jawabnya sambil manyun.
Bapak
baju biru tersenyum simpul.
“Ade
sudah kerja?” tiba-tiba bapak kemeja ungu bertanya pada saya.
“Kuliah,
Pak,” jawab saya singkat.
“Kuliah
di mana?”
“Bandung.”
“Anak
saya juga di Bandung.”
“Oh
ya, Pak? Kuliah di mana anaknya?”
Maka
kami berbincang hingga Stasiun Bojong Gede, tempat kedua bapak, yang belum sempat
saya tanyai namanya, itu turun. Sebuah percakapan yang tak bisa dicari di
Google. Bercandaan yang tidak dilakukan lewat Twitter. Hanya di sebuah
sambungan gerbong commuter.***
[1] “Belajar Menulis Pada Zaman Internet” oleh Andreas
Harsono www.andreasharsono.net/2013/04/belajar-menulis-pada-zaman-internet.html diakses pada Rabu, 8 Mei
2013 pukul 10.29
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran