Gus Dur adalah Ultraman Betulan

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

 
 
 
“Menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan. Aku tak boleh menyerah!”

Masih saya ingat kata-kata Shin Asuka, si Ultraman Dyna itu. Di episode tersebut, belasan tahun lalu, Ultraman melawan monster jahat yang menghancurkan kota. Hampir saja Ultraman kalah. Namun seperti biasa, di detik-detik terakhirnya, Ultraman berhasil mengalahkan musuh itu.

Tak pernah bosan saya menyaksikan berbagai film tentang superhero. Dari Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, Sailormoon, lalu Batman dan Spiderman. Disambung Harry Potter, Narnia dan Lord of the Rings. Saya terpesona dengan semangat mereka yang tak pernah menyerah. Mereka korbankan karirnya, hartanya, cinta dan hidupnya, hanya agar orang lain bisa hidup aman dan damai.

Saat sekolah dasar, saya bermimpi punya kekuatan super untuk mengubah dunia. Betul, saya telah teracuni oleh film-film tadi. Teman-teman saya juga sama. Kami semua memainkan jurus-jurus ajaib saat jam istirahat. Setiap ada orang dewasa, kami anggap mereka monster yang harus dimusnahkan. Kami berlarian, riang gembira.

Menuju dewasa, saya hanya bisa nyengir bila mengingatnya. Bahwa mimpi mengubah dunia adalah muluk. Bahwa saya takkan bisa terbang atau punya kekuatan bulan. Itu adalah mimpi yang tidak bisa diwujudkan, hanya bisa ditertawakan. Imajinasi kekanakan itu begitu konyol, membuat saya tertawa, tertawa dan tertawa, sampai akhirnya Gus Dur menyadarkan: dunia ini memang sedang dalam marabahaya.

Saya ditampar, ternyata dunia ini tidaklah aman-aman saja. Namun ancaman itu tidak datang dari Godzilla, alien planet Namex atau Monster Gurita Listrik. Sebab bahaya itu muncul dalam bentuk yang samasekali berbeda. Mereka adalah suara-suara keserakahan, kebencian dan penindasan. Semuanya tidak hanya menghancurkan kota, tapi telah menggerogoti martabat kemanusiaan kita.

Kini kita sibuk saling menyalahkan, saling curiga dan berebut kuasa. Akhirnya, di berbagai penjuru bumi, orang-orang hidup dalam kelaparan, ketakutan dan hati yang terluka. Di belahan dunia lain, kita melihat orang mengisi hidupnya dengan pertikaian dan permusuhan. Tanpa sadar kita hidup di atas dunia yang menuju hancur. Oh tidak, sekarang kita butuh superhero betulan!

Gus Dur adalah Superhero Nyata

Di Indonesia, Gus Dur menempatkan dirinya sebagai titik ‘P’ dalam kata perdamaian. Berbeda dengan damai versi kebanyakan orang, Gus Dur percaya itu bukan sekadar kerukunan. Sebab istilah kerukunan kesannya pasif, juga tutup mata pada konflik kecil. Lewat sosok Gus Dur, kita merombak definisi itu. Kita belajar bahwa perdamaian adalah kemerdekaan tiap insan manusia, saling bantu atas dasar sukarela, dan menolak kekerasan.

Bicara Islam damai sering dimulai dengan nama Gus Dur. Dia telah mengembalikan Islam ke posisi semestinya: ramah dan cemerlang. Dia juga yang menunjukkan bahwa Islam, demokrasi dan hak azasi manusia punya semangat yang sama. Baik sebelum, semasa, dan setelah masa kepresidenannya, Gus Dur menjadi perisai bagi mereka yang dikucilkan.

“Gus Dur sudah seperti ayah kami,” ujar Fam Kiun Fat (Akiun), anggota Majelis Agama Khonghucu (Makin) Bandung, Januari lalu. Di Bandung saat itu, digelar peringatan 3 tahun wafat Gus Dur yang dihadiri pula oleh Alissa Wahid. Akiun ungkapkan rasa syukur akan hadirnya sosok Gus Dur. Kini kolom agama di KTP-nya bisa diisi sesuai keinginan, tak pernah terpikirkan selama hidupnya.

Gus Dur tidak menuntut melainkan mencontohkan. Dia telah berupaya melindungi masyarakat Kristen, keturunan Tionghoa juga Ahmadiyah. Maka dia tidak perlu malu untuk meminta pemimpin negara lain melindungi minoritas muslim di sana. Ini adalah strategi yang memukau sekaligus gesit. Ternyata sejak awal Gus Dur sudah selangkah di depan.

Tak ada ciri superhero yang tak Gus Dur miliki. Dia menyediakan rasa hormat pada semua manusia, membela yang lemah, dan memperjuangkan keadilan; mengajak semua orang bergandengan tangan dan tidak mempermasalahkan perbedaan; kita diajak hidup damai dalam sebuah komunitas global, sungguh daftar misi yang tak gampang dijalani. Namun Gus Dur menempuh itu semua, sebab Gus Dur adalah manusia ultra, ya, ultraman.

Sebentar, tapi, Gus Dur tidak punya kekuatan super. Gus Dur tidak punya robot Megazord atau laser dari tangannya. Lalu apa yang menjadikan Gus Dur lebih dari manusia biasa? Kenapa nama Gus Dur bisa jadi kekuatan dan harapan bagi perdamaian Indonesia, juga dunia? Saya rasa sederhana : belas kasih.

Jurus Super: Belas Kasih
“Prinsip belas kasih tersemat di jantung tiap agama, etika dan spiritual. Meminta kita perlakukan semua orang sebagaimana kita ingin diperlakukan,” demikian pembuka Charter For Compassion (Piagam Belas Kasih) yang dicetuskan pada 2009. Karen Armstrong, penggagasnya, mengharapkan manusia kembali pada ide ini. Bahwa kita harus tolong menolong dalam sebuah komunitas global, bukannya saling bermusuhan.

Padahal belas kasih bukan barang baru. Sebagaimana disebutkan dalam Piagam, dia ada di semua tradisi agama dan lainnya, itu berarti manusia sudah kenali sejak zaman prasejarah. Ibarat artefak kuno, gagasan ini muncul menjawab tantangan manusia abad 21. Zaman yang serba tergelincir.

Dunia telah menjadi saksi dahsyatnya kekuatan ini. Kita melihat bagaimana Buddha, Yesus dan Muhammad menggunakan resep yang sama, lalu mereka diikuti jutaan orang. Bunda Teresa yang menolong ribuan orang, Mahatma Gandhi yang menolak kekerasan, Nelson Mandela yang menolak balas dendam, Gus Dur yang membela keberagaman, semua diilhami semangat yang sama. Mereka mencintai manusia dan lihatlah bagaimana kini manusia mencintai mereka.

Lewat kisah mereka, kita diajari untuk bersikap empatik, heroik, patriotik. Kita diajak mengorbankan kepentingan diri dan mementingkan orang lain tanpa kecuali, menolong yang lemah, dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Kita menolak kebencian, penindasan dan peperangan. Kita menolak balas dendam, memilih jalan yang bukan kekerasan. Kita diberitahu bahwa untuk berjuang tidak selalu harus mengangkat pedang.

Belas kasih, dan orang-orang yang menggunakannya, adalah alasan untuk terus berjuang meski hanya sendirian. Manusia perlu sosok pejuang kemanusiaan yang bisa memberikan semangat hanya dengan diingat. Manusia perlu teladan yang bisa menjaganya sampai garis finish perjuangan. Manusia perlu panutan soal bagaimana menjadikan dunia ini, atau setidaknya lingkungannya, jadi lebih baik. Manusia butuh nama-nama hebat : Gus Dur, Jusuf Kalla, dan mungkin suatu hari nanti, nama kita sendiri.

Mimpi dari Masa Kecil

Masih banyak kejahatan di muka bumi. Masih banyak orang yang hidup dalam ketakutan. Karenanya, kesempatan untuk jadi penyelamat dunia itu masih terbuka lebar. Di Indonesia saja, tahun 2012 saja, ada 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Artinya rata-rata 22 kasus tiap bulan, artinya sekitar satu kasus tiap dua hari.

Kondisi ini nampaknya belum akan membaik. Sebab angka tadi selalu naik yakni dari 121 kasus pada 2009, 184 kasus pada 2010, dan 267 kasus pada 2011[1]. Empat kali rapor merah bagi bangsa yang punya semboyan bhinneka tunggal ika. Sebuah bukti bahwa di negara ini bahaya sedang merajalela.

Cita-cita Gus Dur belum sepenuhnya berhasil. Setelah dia mencontohkan begitu banyak, kini ada beberapa misi yang dia wariskan untuk dilaksanakan. Ini akan sedikit menantang, tapi patut untuk diperjuangkan.

Saya, Anda, siapa pun, memang tak bisa mengendalikan api. Namun saya mengajak semua insan, laki-laki dan perempuan, siapa pun, untuk membangunkan pahlawan yang bersemayam dalam diri. Sosok yang selama ini tanpa segan menolong orang, dan bila kita pernah melakukannya, tentu akan mudah membuatnya lebih hebat lagi.

Saya mengajak semua orang untuk melupakan kebencian dan memulai persahabatan. Bila di antara kita ada yang masih percaya stereotip, saatnya cek kebenarannya sekarang juga. Betulkah Batak itu begini, Kristen itu begitu? Lupakan rasa curiga itu, mulailah berkenalan.

Rubuhkan pula dinding pembatas bernama agama, suku atau apa pun itu. Sebab kita bisa saling tidak setuju, tapi tak perlu main tinju. Sebab kita beda iman, tapi tetap bisa berteman. Bila telah demikian, maka konflik atas nama perbedaan harusnya tinggal kenangan.

Saya bermimpi tentang semua orang yang menumbuhkan jiwa ksatria dalam dirinya. Ketika mereka secara sukarela menolong sesama manusia, melupakan kebencian dan permusuhan, dan hanya sibuk membangun dunia yang lebih baik. Sebuah dunia para pecinta damai yang kompak, dengan persahabatan yang makin erat, juga kebersamaan yang makin solid.

Mari, wahai calon superhero, kita hidupkan mimpi masa kecil untuk mengubah dunia. Di tengah kekusutan ini, adalah waktu yang tepat untuk satukan semangat, juga satukan kekuatan untuk menumpas kekerasan dan kebencian. Sudah saatnya kembalikan damai ke muka bumi ini. Gus Dur sang ultraman sudah memulai, saatnya kita selesaikan. []


Referensi :
  • Armstrong, Karen. 2013. Compassion. Bandung : Mizan
  • “Gus Dur Sudah Seperti Ayah Kami” reportase kegiatan Sarasehan dan Diskusi Gus Dur, Bapak Tionghoa Indonesia, dalam selebaran Catatan Kecil edisi 4 oleh Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) Bandung
  • Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, oleh The Wahid Institute. Diunduh dari www.wahidinstitute.org
  • Ultraman Dyna, dari www.en.wikipedia.org/wiki/Ultraman_Dyna‎ diakses pada Kamis, 15 Agustus 2013


[1] Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, oleh The Wahid Institute. Diunduh dari www.wahidinstitute.org

Comments

  1. terima kasih tulisannya rio....
    "Sebab kita beda iman, tapi tetap bisa berteman"

    ReplyDelete
  2. Q suka bagian yg ini "kita beda iman, tp tetap bs berteman"

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran