#5 Watchdog : Menyambung Lidah Kelompok Marjinal



Untuk kelompok difabel, umat gereja St Stanislaus Kostka, dan Satinah

“Saya juga makasih sama KBR 68H yang terus mendampingi teman-teman difabel sejak awal,” kata Maulani Rotinsulu, saat saya wawancara lewat telepon, pekan lalu. Maulani adalah difabel, kita pernah menyebut mereka ‘berkebutuhan khusus’. Kami berbincang 30 menit mengenai kebijakan SNMPTN yang melarang difabel ikut seleksi. Maulani bilang kebijakan itu, “diskriminatif dan bodoh.”

Menyusul Gereja St Stanislaus Kostka di Kranggan, Bekasi, yang IMB-nya dicabut pengadilan. Kelompok intoleran, si penggugat, menuduh gereja memalsukan tanda tangan warga dan tidak sosialisasi. Sidang yang ditekan kelompok intoleran itu akhirnya memenangkan gugatan. Lalu kelompok intoleran datang ke gereja untuk menyegelnya, kemarin. Padahal gereja akan banding. Untung polisi datang dan berhasil mengambil situasi.

Kini giliran Satinah, pekerja migran asal Semarang, yang menghitung 19 hari terakhirnya sebelum dipancung algojo Saudi. Sejak pengadilan Saudi memutus Satinah bersalah membunuh majikannya, Satinah tak bisa berbuat banyak selain menitipkan anaknya pada keluarga besar. Kakak Satinah, Paeri Alferi, ketika saya telepon, mendesak jurnalis mengangkat isu ini supaya SBY yang sibuk kampanye itu mendengar dan berbuat sesuatu.

Di akhir tiga wawancara itu, ucapan terimakasih mereka telah membebani pundak saya. Sudah dua bulan lebih saya jadi kuli tinta, namun baru belakangan ini saya merasa benar-benar berguna. Saya tak pernah menyangka, orang yang saya wawancara bisa menaruh harapan besar terhadap media, terhadap jurnalis, si juru warta. Mereka yang capek menunggu akhirnya berharap, bahwa lewat berita, penguasa mau mendengar dan memutuskan menolong mereka. 

Rupanya inilah yang Bill Kovach tulis sebagai elemen jurnalisme ke lima: memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Inilah ketika jurnalisme wajib mengingatkan penguasa soal orang-orang yang terlanjur diabaikan. Jurnalisme wajib memberikan kelompok marjinal ini ruang suara. Mereka banyak, yakni kelompok Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, dan gereja Kranggan, menyusul masyarakat adat Parmalim, Kaharingan, Sunda Wiwitan, dan Marapu, lalu perempuan, waria, juga LGBT, dan difabel yang berkemampuan berbeda. Jangan lupa: Munir dan Semanggi. Tiap-tiap manusia ini punya harapan. Dan mereka, juga, perlu didengarkan.

Di sinilah posisi jurnalisme bebas dalam negara demokrasi yang menjunjung HAM. Jurnalisme harus mengawal semua hak semua manusia dipenuhi oleh negara. Jurnalisme harus menegur negara agar memperlakukan semua manusia sama di ruang sidang. Jurnalisme harus menjewer negara yang tak becus mengurus warganya. Jurnalisme harus menampar negara, bahwa semua warga termasuk difabel boleh kuliah, semua termasuk umat katholik Kranggan boleh membangun rumah ibadah, dan semua termasuk Satinah boleh minta diampuni dari putusan bersalah. Harapan mereka, serta kewajiban jurnalis itu, harusnya ada dalam semangat sebuah berita.

Maka sebaiknya media tidak larut meliput kampanye SBY di mana dia bernyanyi. Tidak keasyikan menyuguhkan penguasa. Apalagi ketika ada difabel, gereja Kranggan, dan Satinah yang teriak namun tak digubris. Apalagi ditambah pekerjaan rumah menghapus diskriminasi yang kian menumpuk. Tapi saya juga ragu SBY akan mendengar. Sebab SBY tidak menulis orang-orang ini dalam lagunya yang segudang, atau bukunya yang 500 halaman! []

Comments

  1. Sebebas apa pun media konvensional tetap ada kepentingan di dalamnya. Benar-benar jauh dari demokratisasi komunikasi.
    Tapi, setidaknya aku juga ingin berterima kasih pada media yang mau menjadi lidah penyambung bagi rakyat dan pemerintah ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. teh citra, ajarkan daku ini soal demokratisasi komunikasi :)

      Delete
    2. Aku juga masih belajar, Ndong
      Kamu bisa coba baca buku Radio Komunitas: Eskalasi Demokratisasi Komunikasi yang ditulis oleh dosen Unisba Atie Rachmiatie :)

      Ndong, ajari aku "menulis" donk :D

      Delete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran