Menolak Homophobia, Sekali Lagi
Untuk lesbian, gay, biseksual, dan waria
Minggu (18/5) siang di Car Free Day Jakarta, lelaki feminin dan perempuan maskulin berparade. Mereka membentangkan bendera pelangi dan berteriak, “Stop stigma, kekerasan dan diskriminasi pada LGBT.”
Minggu (18/5) siang di Car Free Day Jakarta, lelaki feminin dan perempuan maskulin berparade. Mereka membentangkan bendera pelangi dan berteriak, “Stop stigma, kekerasan dan diskriminasi pada LGBT.”
International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHOT)
diperingati setiap 17 Mei di 120 negara. Kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) Indonesia memulainya sejak
2007. Tahun 2014 ini, peringatan serupa dilangsungkan di sejumlah kota besar
seperti Medan, Surabaya, Makassar.
Kamis (22/5) siang, kelompok LGBT berkumpul di Komnas
Perempuan untuk sekali lagi memperingati IDAHOT. Mereka mengundang banyak media
dan hanya tiga yang hadir.
“Karena fobia ini
memunculkan banyak masalah, kekerasan, diskriminasi dan stigma terhadap LGBT,”
kata Yuli Rustinawati, koordinator Forum LGBT Indonesia.
Perempuan seperti dirinya sering dilecehkan orang sekitar,
dan dia tidak sendirian. LSM Arus Pelangi mencatat pada 2013 ada 89,3% LGBT di
Indonesia yang pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksualnya.
LGBT menerima diskriminasi beragam bentuk. Ada remaja LGBT
yang putus sekolah karena tak tahan diejek temannya, lalu dibuang keluarga.
Sementara kelompok waria hanya buka salon atau jadi pekerja seks setelah
terus-terusan ditolak perusahaan. Ditemukan pula perempuan
lesbian yang diperkosa gigolo sewaan keluarganya dengan berharap orientasi seksnya bisa
berubah.
“Kami dianggap kena penyakit menular. Padahal PBB sudah
menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa,” kata Yuli. PBB melakukan
itu sejak 1990 melalui badan kesehatan WHO.
Secara global, ada 81 negara yang menghukum hubungan sesama jenis. Sebelas di antaranya memberi hukuman mati.
Di Indonesia, pemerintah tidak pernah keluarkan peraturan yang melindungi hak
LGBT, malah sebaliknya.
Pada Agustus 2013 ada 342 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, Komnas Perempuan mencatat.
Sebanyak 264 aturan itu mengatasnamakan agama dan moralitas. Aturan itu di antaranya mengatur pakaian
perempuan, sementara laki-laki tidak.
Meski aturan ini diarahkan pada perempuan, LGBT kena
getahnya.
“Kalau perempuan saja menerima perlakukan seperti itu, apalagi kami yang jelas berbeda,” kata Merlyn Sofjan, waria yang menulis novel ‘A Woman without V’. Kata Merlyn, transgender lah yang paling banyak mengalami kekerasan karena secara fisik mudah dikenali.
“Kalau perempuan saja menerima perlakukan seperti itu, apalagi kami yang jelas berbeda,” kata Merlyn Sofjan, waria yang menulis novel ‘A Woman without V’. Kata Merlyn, transgender lah yang paling banyak mengalami kekerasan karena secara fisik mudah dikenali.
Merlyn Sofjan |
Merlyn meminta pemerintah menjamin hak mereka dalam
pekerjaan, jaminan sosial, standar hidup layak, kesehatan, pendidikan, dan
ekspresi.
Merlyn ingat bahwa perjuangan ini sudah dilakukan sejak 1993,
lewat Kongres Gay Lesbian pertama se-Indonesia, di Yogyakarta. Dia bilang 21
tahun perjuangan tidak mengubah keadaan. Dia berharap presiden baru bisa menghargai perjuangan panjang itu.
Sementara Merlyn dan kelompoknya tidak meminta banyak. Mereka tidak mau distigma dan didiskriminasi. Mereka ingin hidup seperti warga heteroseksual, dinilai berdasarkan kemampuan dan bukan orientasi seksnya.
Merlyn mungkin kembali turun untuk IDAHOT 2015. Sebab ia tahu perlindungan terhadap kelompoknya masih di tengah jalan. Dia bilang, “Bukan untuk kita, ini untuk generasi mendatang.” ***
Rio Tuasikal menulis soal keberagaman manusia. Saat ini jurnalis Kantor Berita Radio terbesar di Indonesia, KBR 68H, yang juga percaya pada demokrasi dan hak azasi manusia. Ikuti Twitternya @riotuasikal.
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran