Gelisah Bersama Wahib*

Oleh Rio Tuasikal


Siang terik di bundaran HI Jakarta, perayaan Hari Perdamaian Internasional. Saya bertemu Ridho, 20 tahun, yang baru menampilkan tarian modern dalam acara itu bersama 4 temannya. Kini dia duduk-duduk di trotoar dengan sesama anggota Next Step Crew. Dia menceritakan pada saya, pendapatnya soal perdamaian.

“Perdamaian adalah ketika semuanya indah,” katanya lalu tersenyum canggung.

Saya mendengar jawaban Ridho sambil tersenyum. Jawabannya mungkin tidak secerkas Ahmad Wahib, yang bila ditanya pertanyaan yang sama bisa menjabarkan A hingga Z. Teologis ke sosiologis, runut dan sistematis, dan bahkan menjadi satu catatan harian tersendiri. Tapi, setidaknya, Ridho berbagi kegelisahan yang sama dengan Wahib di usia yang pula sama.

Kemudian saya seperti melihat diri saya sendiri ketika Ridho menceritakan pendapatnya soal kelompok intoleran. “Mereka seperti tidak punya agama. Orang yang beragama tidak akan merusak hubungan antar-agama,” katanya.

Saya seperti bercermin. Seketika saya seperti menembus waktu dan kembali ke dua tahun lalu. Saat saya berusia 20 tahun. Saat saya mulai merasakan kegelisahan yang sama.

Kala itu saya jengah dengan sikap sejumlah orang yang mengatasnamakan agama untuk aniaya. Saya tidak habis pikir, bagaimana bibir orang bisa meneriakkan nama Tuhan dan di waktu yang sama ada orang berdarah karena tangannya. Saya tidak pernah menemukan jawabannya hingga sekarang.

Saya muslim dan saya gelisah. Saat itu saya tak punya tempat mengadu, bahkan Tuhan sekali pun. Sebab saya merasa Tuhan sendiri jadi menyeramkan. Karenanya saya diam dan memilih membisu, mengurung diri dari keramaian wacana.



Saya mengorbankan hubungan saya dengan Tuhan, menghukum-Nya, sebagai bentuk protes atas kengerian yang saya saksikan. Saya jadi menjaga jarak dengan Tuhan dan agama, iman pun saya bungkus dan sembunyikan di sudut ruangan.

Saya tidaklah seperti Wahib yang menuliskan segala kegalauannya dalam buku-buku catatan. Yang mungkin saja, bila saya mati muda, seorang kawan saya akan menemukan buku-buku itu dan berpikir menjadikannya sebuah buku. Arah kegalauan saya, sayangnya, tidak ke situ.

Saya membiarkan mata angin memimpin pelarian. Saya diantarkan pada kelompok lintas iman yang sangat terbuka, yang dengan tangan terbuka menerima muslim tanggung seperti saya. Namanya Jaringan Kerja Antarumat Beragama, Jakatarub, berbasis di Bandung.

Untuk pertama kalinya, saya bisa makan bersama orang Syiah, menjadi makmum di masjid Ahmadiyah, berfoto di depan pohon natal di gereja, atau makan kue di kong miao. Ini bukanlah sebuah ruang diskusi di mana kami membahas isu politik atau sosial paling aktual. Bukan sejenis forum yang diikuti Mukti Ali, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Wahib dulu.

Ini hanyalah ruang bersama antara orang yang berbeda, yang duduk bersebelahan sambil berbagi makanan yang dibawa. Ajaibnya, menghabiskan waktu bersama mereka telah membantu saya kembali berani menyapa Yang Maha Kuasa. Siapa sangka mereka yang dicap sesat justrulah yang menyelamatkan iman saya?

Itu membuat saya sampai pada kesimpulan yang sama dengan Ahmad Wahib ketika menyatakan, “haruskah aku memusuhi mereka yang bukan Islam dan sampai hatikah memasukkan mereka ke dalam neraka?”

Tidak.


Menggelisahkan Indonesia

Kegelisahan Ahmad Wahib adalah seperti meneropong ke masa depan. Dia lahir di Sampang 1942, tapi jiwanya seolah sudah berkunjung ke tahun 2012 ketika konflik Sunni-Syiah pecah di sana. Saya percaya dia bukan seorang cenayang. Tapi kekuatirannya memang melampaui waktu.

Sudah 40 tahun lebih sejak Wahib tertabrak motor di persimpangan jalan, dan akhirnya meninggalkan kita. Namun kegelisahannya tetap hidup. Ia relevan dan seolah mewakili Indonesia saat ini. The Wahid Institute menyodorkan bukti kegelisahan Wahib.

Lembaga ini mencatat, tahun 2012 saja ada 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama1. Artinya rata-rata 22 kasus tiap bulan, artinya sekitar satu kasus tiap dua hari. Angka ini terus naik dari 121 kasus (2009), 184 kasus (2010), dan 267 kasus (2011)2.

Sebutlah GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Ahmadiyah di Mataram, juga Syiah di Sampang, sebagai kasus utama. Plus ratusan kasus kebencian lain. Deretan ini menambah rapor merah kebhinnekaan yang seharusnya berakhir di Poso dan Sampit. Kegelisahan Wahib itu terbukti, dan dia takkan bangga meski perkiraannya benar.

Kini Indonesia mulai bimbang dengan dirinya sendiri. Orang-orang mulai menutup hidung dengan yang berbau kebhinnekaan. Orang bisa saja menyanyikan Indonesia Raya setiap upacara bendera, menjelaskan sejarah kemerdekaan bangsa, ikut karnaval 17-an juga, tapi masih berpikir tiga kali bila harus bertetangga dengan yang beda agama.

Jangan-jangan inilah yang Wahib takutkan dan tumpahkan di buku catatan. Ketika tidak setuju berubah jadi saling tinju, dan tidak sepakat berubah jadi saling sikat. Ketika mendengarkan sudah terlalu tabu jika itu soal perbedaan. Ketika kebhinnekaan malah jadi bumerang, yang jadi senjata sekarang, tapi kemudian balik menyerang entah kapan.

Mungkinkah Wahib sendiri sudah membayangkan bahwa kemajemukan Indonesia adalah bom waktu yang akan meledak entah kapan?

“Saya tidak mau menjadi orang munafik, sok suci, dan semacam itu,” kata Wahib. Mungkin Wahib saat itu sudah memperkirakan bangsa ini akan diisi orang yang munafik: Orang-orang yang mendompleng nama Tuhan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, orang-orang yang bisa mengenakan topeng alim hanya untuk duduk di kekuasaan, atau orang-orang yang bicara moral sampai berbusa padahal korupsi.

Kini, pundak bangsa ini dipenuhi beban-beban kemunafikan. Bicara soal kemajemukan, setiap hari kita disuguhi tontonan petinggi agama yang menyuarakan kebencian. Di saat yang sama, polisi memilih tunduk pada tekanan kelompok intoleran dan alakadarnya melindungi korban.

Saya tidak habis pikir dengan cara berpikir kita yang sudah jungkir balik. Kita bisa marah, menghujat, dan melaporkan mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada yang meluapkan kekesalannya di media sosial. Perempuan itu dianggap menyakiti warga kota Yogyakarta. Tapi kita semua kompak bungkam ketika di kota yang sama, beberapa bulan sebelumnya, ada tokoh agama yang jelas-jelas menentang Indonesia. Dan ngomong-ngomong, polisi lebih suka memproses hukum kasus yang pertama. Tidak mengejutkan bila polisi membiarkan yang kedua.

Media massa kita bahkan membuat situasinya lebih buruk. Televisi kita nampaknya hobi mempertemukan pihak-piahk yang berseteru tanpa itikad mencari solusi. Mereka mempertontonkan perseteruan, dan perkelahian secara telanjang. Media ikut menghakimi para korban sebagai pihak yang jadi dalang permusuhan. Lagi-lagi urusan keuntungan bicara di balik semua ini. Di akhir, media akan melenggang pergi ketika isunya tidak hangat lagi. Ia melipir tanpa ada perasaan bersalah.

Kasus-kasus intoleransi sudah bermunculan di sana sini, bicara perbedaan orang sudah mulai alergi, dan aparat negara selalu sibuk sendiri. Situasinya sangat menyebalkan dan ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Inilah waktu yang tepat untuk sekali lagi menggelisahkan ibu pertiwi.


Belajar Wahib

Saya termasuk orang yang baru mempelajari Ahmad Wahib. Saya pernah melihat bukunya di sebuah pameran buku besar empat tahun lalu. Saat itu, bahkan, saya salah membaca nama belakangnya sebagai Wahidmungkin nama Gus Dur lebih mudah saya kenali.

Ketika membaca buku itu, saya seolah menjelajahi pengalaman diri sendiri. Saya seolah berjalan-jalan di antara memori yang usang, yang sudah pernah saya taruh di laci dan dikunci rapat. Saya menengok ke belakang memang dengan kegelisahan yang sama, tapi kali ini saya punya semangat untuk menyudahinya.

Dari Ahmad Wahib, saya belajar menambahkan tanda tanya di akhir setiap dogma yang saya percayai. Memilih tidak langsung percaya dengan setiap pendapat pemuka agama. Saya belajar percaya bahwa manusia bisa menemukan Tuhan dengan caranya sendiri, dan tentu lewat pilihan bebasnya.

Saya belajar percaya bahwa Tuhan menggenapkan agama dengan cinta, yang akan bekerja dengan mekanisme yang sama. Saya belajar dari Wahib bahwa Tuhan menghendaki siapapun hidup aman dan damai bersama. Dari situ pula, saya berani mengutuk aksi kelompok intoleran meski mereka berbalut jubah agama. Karena saya melihat agama hanya topeng belaka.

Dari Wahib, saya menemukan sederet inspirasi untuk toleransi. Bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. Bahwa kemajemukan adalah tempat untuk siapa pun bisa belajar, dan menemukan hal-hal baru yang bisa saja tidak pernah kelihatan. Dalam perbedaan ini, kita diajarkan untuk beragama dengan rendah hati, untuk menyediakan kuping dan bersedia menerima penjelasan, untuk menunda label-label sesat atau masuk neraka, untuk bisa duduk bersebelahan dan makan kue bersama.

Dalam kondisi ini pula, kita ditantang untuk menghadapi ketidaksetujuan tidak dengan kekerasan, menghadapi perbedaan penafsiran tidak dengan percekcokan, menghadapi pertentangan dengan jalan persahabatan. Di atas semuanya, kita diajak untuk percaya bahwa beda iman tetap bisa berteman.

Kita bisa memasuki ruang tanpa batas di mana semua orang dari berbagai agama bisa berangkulan pundak ke pundak, dan tanpa segan menghadapkan muka ke kanan dan kirinya sambil berbisik pelan, “kita selalu bisa jadi teman.”

Dari Wahib jugalah saya menemukan bahwa memperjuangkan sesuatu tidak selalu berarti mudah. Saya kemudian jadi mengerti bahwa punya cita-cita tinggi adalah berarti siap dengan perbedaan pendapat, ditinggalkan teman, dan berjalan sendirian. Itu termasuk meninggalkan organisasi yang jadi tempat belajar dan amat dicintai, kehilangan orang-orang yang selama ini ada untuk berbagi, kemudian bergumul seorang diri.

Akhirnya, dari Wahib jugalah saya membaca kesungguhan. Dari Wahib, saya melihat sosok yang memilih tidak mendengarkan apa kata orang ketika tahu ada yang perlu diperjuangkan. Bahwa perjuangan adalah sebuah perjalanan yang hharus ditempuh meski belum tentu selesai. Pada akhirnya, saya belajar percaya bahwa tidak ada satu pun yang akan berakhir sia-sia. Bahkan catatan harian Wahib pun bisa jadi buku yang menarik orang dengan kegelisahan yang sama.


Setelah Gelisah: Berkata Sudah!

Di perayaan Hari Perdamaian Internasional di Bundaran HI, kegelisahan itu tidak tampil.

Saya mendengarkan Kikan menyanyikan lagu Merah Putih di panggung. Inayah Wahid menjelaskan pada saya bahwa lagu bertema kebangsaan sengaja dipilih untuk menyampaikan pesan perdamaian. Tapi bagi Inayah, lagu-lagu lain juga perlu agar menarik perhatian lebih banyak orang. Asalkan tidak menyuarakan kebencian.

Inayah menceritakan pada saya bahwa musik sengaja dipilih untuk menjangkau kaum muda. Dia melihat investasi sosial harus diarahkan pada kelompok ini. Selain itu, dia juga sengaja mengundang macam-macam komunitas.

Inayah sadar, ide-ide perdamaian selama ini hanya berhenti di seminar dan lokakarya. Padahal seharusnya ide ini bergulir dan lantang di depan umum. Apalagi mengingat setiap orang sebetulnya punya modal damai di dalam hatinya. Seharusnya semangat ini terjun seperti bola saju, yang bulat, membesar, dan bergerak supercepat.

Itulah yang membuat ratusan orang datang ke depan panggung meski siang itu amat terik. Mereka datang dari 144 komunitas yang tidak semuanya tersentuh ide perdamaian apalagi pluralisme. Sebagian mereka menyumbangkan apa yang bisa mereka lakukan: menari, menyanyi, berpantomim.

Orang-orang datang bisa saja hanya untuk menikmati musiknya, tak apa. Bisa saja ada pasangan yang kebetulan datang ke Car Free Day Jakarta, tak tahu mau ke mana, dan akhirnya memutuskan ikut perayaan perdamaian ini karena mendengar Kikan bernyanyi.

Setidaknya pertemuan mereka telah membangun dialog. Inilah ruang bersama ketika orang dari berbagai latar belakang ikut berjoget dan berjingkrak. Ini adalah ketika orang kulit hitam, putih, dan kuning bisa sama-sama keringatan; atau orang berkerudung dan berkalung salib bernyanyi bersama sekeras-kerasnya. Dan, hey, dialog tidak pernah semenyenangkan ini. Bahkan kita tak perlu repot mengucapkan pluralisme, perdamaian, toleransi dan sebagainya.

Saya yakin tidak semuanya mengenal Ahmad Wahib. Malah mungkin hanya segelintir saja yang tahu siapa itu Ahmad Wahib, tidak tertukar dengan Abdurahman Wahid. Apalagi mereka yang tahu hingga ke pergumulan dan pemikiran Wahib.

Tapi saya yakin semua berbagi kegelisahan yang sama dengan Wahib, Ridho, dan saya. Sebab kalau tidak, mereka tidak akan menghabiskan waktu yang lama mendengarkan pembawa acara Olga Lydia berulang kali berpesan menjaga perdamaian. Kalau mereka tidak rindu perdamaian, kenapa mereka menyahut seruan Olga? Bukankah ini tanda bahwa mereka juga sudah bosa dan jengah dengan konflik-konflik semacam itu?

Dari pekik mereka, saya merasakan Wahib ada di tengah-tengah kami. Dia ada di sela-sela tangan kami yang berpegangan, dia ada di sela-sela canda yang kami teriakkan. Dia ada di antara musik-musik yang dinyanyikan, baik itu soal cinta, perdamaian, atau pun bukan.

Dia ada di sini, di hati dan otak kami yang terus gelisah sambil diam-diam terus berharap semua konflik terselesaikan.

Wahib mungkin datang dan duduk bersama Djohan Effendi yang juga hadir siang itu. Wahib mungkin akan menghabiskan sepanjang waktu berdiskusi sahabat lamanya. Mungkin Wahib akan menerima laporan kondisi terkini dari Djohan, dan mungkin akan tersenyum mengetahui kegalauannya juga kini dirasakan lebih banyak orang.

Waihb barangkali terkejut ketika tahu ada konflik berkepanjangan di tempat kelahirannya Sampang. Dia mungkin tak habis pikir bagaimana konflik itu bisa meletus karena dia sendiri tahu seberapa agamis penduduk di sana.

Mungkin Wahib juga tersipu ketika tahu namanya dipinjam jadi ajang perlombaan. Dan semangatnya untuk perubahan kini telah jadi nafasnya.

Wahib mungkin akan duduk sebentar dengan Shinta, Yenny, dan Inayah Wahid. Wahib mungkin akan terlibat percakapan yang seru dengan keluarga Gus Dur ini. Dia juga bisa saja mengucapkan selamat ulang tahun buat Gus Dur.

Wahib mungkin kaget ketika tahu Djohan adalah menteri di era Gus Dur. Tapi itu tidak terlalu penting, karena Wahib bisa saja mendengar rentetan kejadian yang menjadi tonggak kemajuan kebhinnekaan Indonesia. Dan mungkin, kalau percakapannya sangat cair, mereka mengobrolkan kenapa nama Wahib dan Wahid sering tertukar.

Dia mungkin juga bergegas menemui Lukman Hakim Syaifuddin setelah diberi tahu bahwa Lukman adalah menteri agama saat ini. Wahib mungkin saja menitipkan rangkaian pesan dan wanti-wanti buat menteri. Dia juga pasti menitipkan setumpuk kegelisahannya atas kebhinnekaan di negeri tercinta. Tak lupa, Wahib berpesan agar Lukman segera menyelesaikan konflik di tanah lahirnya Madura.

Mungkin Wahib juga sesekali akan menengok ke arah panggung. Dia mungkin menyaksikan Ridho yang menari, atau Kikan yang menyanyi. Dia mungkin akan maju ke depan pentas, bertepuk tangan, lalu tertawa di sebelah Yenny Wahid ketika menyaksikan pantomim.

Bisa saja Wahib tidak sengaja datang menghampiri Ridho yang sedang saya ajak ngobrol. Mungkin saja Wahib awalnya diam-diam mendengarkan dan akhirnya memutuskan terlibat dalam percakapan. Mungkin saja Wahib merasa melihat dirinya karena bertemu dengan orang-orang yang sebaya, dengan kegelisahan yang sama.

Mungkin saja, ketika saya memperhatikan Wahib berbicara, saya berkesimpulan:

Indonesia butuh lebih banyak orang gelisah seperti Wahib. Indonesia butuh orang yang hatinya terketuk mana kala melihat kemunafikan terjadi di depan mata. Mereka yang bibirnya terasa kelu ketika melihat orang beda agama diperlakukan semena-mena. Mereka adalah orang yang seketika berdoa ketika melihat diskriminasi merajalela.

Dan menjadi Wahib tidaklah melulu mengikuti setiap gerak kehidupannyatoh dia juga bukan nabi. Menjadi Wahib juga tidaklah berarti harus ikut Himpunan Mahasiswa Islam, berdiskusi topik-topik berat dengan para tokoh, lalu lantang bicara perubahan.

Menjadi Wahib bahkan tak perlu membaca buku Pergolakan Pemikiran Islam. Bahkan tanpa perlu mengenal Ahmad Wahib.

Sebab menjadi Wahib adalah sesederhana mendengarkan nurani. Melihat ke dalam diri kita sendiri, apa yang membuat kita tersakiti, dan berjanji dalam keadaan apapun tidak melakukannya kepada orang lain.

Kini kita sudah selesai berbagi kegelisahan. Kita sudah tahu di sini dan di sana ada masalah bertebaran. Kini adalah saatnya berpegangan tangan dan berteriak lantang: cukup sudah!

Cukup sudah dengan segala permusuhan dan perkelahian. Cukup sudah dengan kata-kata makian yang isinya dari kebun binatang. Cukup sudah dengan kekerasan atas nama apa pun, bahkan agama dan Tuhan.

Sudah terlalu banyak rumah yang rusak dan harta benda yang lenyap. Tapi lebih dari itu sudah terlalu banyak orang yang menangis, terluka hatinya, dan ditinggalkan orang yang dikasihi.

Hentikan segala perbedaan perlakuan terhadap yang berbeda agama. Perlakukan semuanya sebagai sama-sama manusia. Lihat semuanya sebagai ciptaan Tuhan yang setara, punya hak yang sama, dan juga punya perasaan.

Hentikan segala cemooh kepada mereka yang dianggap akan masuk neraka. Hentikan kata-kata yang akan membuat orang terluka. Hentikan ejekan-ejekan itu, demi masa depan anak cucu kita.

Mari memulai sesuatu yang baru dan menyenangkan. Mari membangun rumah yang menerima semua orang. Rumah yang menyediakan tangan hangat untuk siapa pun bergabung. Semuanya hanya dilandaskan pada kerangka persahabatan.

Kita bisa berpegangan tangan, dalam kemajemukan. Menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah benar bangsa yang besar.

Dan mungkin Wahib akan tersenyum yang memiliki dua arti. Dia senang melihat kegelisahannya telah menggerakkan banyak orang. Sekaligus tahu bahwa perjuangan kita akan panjang.***

_______________________________________

1 Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, oleh The Wahid Institute. Diunduh dari www.wahidinstitute.org
2 Ibid.

*Awalnya untuk kompetisi Ahmad Wahib Award, tapi, betul deh, telat daftar.

Comments