150km, Kejujuran dan Rasa Hormat*
“Pakai
KTM atau yang biasa?” tanya petugas travel Jakarta-Bandung itu pada
saya, sore hujan itu.
Nah,
inilah dia. Pertanyaan ini lagi-lagi keluar. Program promosi untuk
mahasiswa itu menawarkan potongan harga dua puluh ribu rupiah.
Syaratnya hanya fotokopi kartu tanda mahasiswa.
Saya
sudah lulus tahun lalu, dan saya selalu menolak tawaran diskon
tersebut, selalu bilang tidak. Tapi khusus saat itu pikiran saya
berkata lain, “Sekali ini saja. Tidak apa-apa. Tidak ada yang
tahu.” Lidah saya lalu angkat bicara: Lumayan untuk segelas
full-leaf brewed tea di gerai kopi terkemuka berinisial S.
Saya
menimbang-nimbang. Ini kesempatan langka. Toh petugas itu tidak akan
repot-repot mencek status mahasiswa saya ke almamater. Lagi pula
selama ini saya jujur. Tak apalah sekali ini, sebagai hadiah bagi
usaha saya bertahan setahun penuh.
Perjalanan
saya ke Bandung secara teknis berjalan lancar, tapi tidak demikian
hati saya. Di dalam sini berkecamuk, merasa ada yang kurang, tidak
tenang. Seperti ada bisikan kontinu dan gradual dari dalam, bohong.
Dan saya berulang kali membela diri, sekali
ini saja.
Saya
lalu ingat masa sekolah saya. Di Bandung dan wilayah berbahasa Sunda,
kami memiliki istilah uniko.
Kependekan dari usaha
nipu kolot,
usaha menipu orangtua. Istilah pelajar untuk mark
up
harga buku pelajaran, atau meminta uang seragam padahal untuk baju
baru. Saya tidak tahu apakah budaya Sunda menganggap ini sudah lumrah
sampai ada istilahnya sendiri. Lalu yang saya lakukan tadi apa?
Unitra,
usaha menipu travel?
Di
rest
area,
saya membeli segelas teh mahal untuk menghibur diri dari perasaan
bersalah. Tapi tiap teguknya malah membuat perasaan itu makin tebal.
Ternyata tidak ada minuman apapun yang manjur menghilangkan perasaan
bersalah. Andai ada yang menjual ketenangan seharga dua puluh ribu
rupiah, saya sudah beli saat itu juga. Inikah
perasaan koruptor?
---
Sisihkan
dulu kisah itu. Karena perjalanan sebaliknya, saat ke Jakarta,
mengajarkan saya hal lain. Kali ini saya menolak tawaran diskon, demi
ketenangan. Tapi bukan soal itu. Ada satu hal lain yang juga dimulai
di meja booking.
“Duduknya
di mana? Tinggal 3 kursi di belakang,” kata petugas travel pada
seorang ibu.
Ibu
itu menunjuk nomor kursi.
“Duduknya
di mana? Tinggal 2 kursi di belakang,” kata petugas pada saya.
Saya
menunjuk kursi sisa. Menempel ke jendela, sebelah ibu tadi.
Saat
perjalanan, saya tak berhenti memerhatikan ibu itu. Dia bermata
sipit, berkalung salib, rambutnya ikal. Dia duduk santai, justru saya
yang canggung. Saya masih terus memerhatikan sampai tiba-tiba dia
menoleh. Saya tertangkap basah. Tapi senyuman yang dia keluarkan
selanjutnya membuat saya tenang.
Saya
kemudian melihat ke penumpang lainnya. Di dua bangku di depan, ada
yang berkerudung. Di sebelahnya saya lihat berkulit hitam.
Semuanya
sama-sama penumpang, membayar uang perjalanan yang sama, tidak ada
pembedaan harga berdasarkan warna kulit atau bentuk mata yang sipit.
Tidak ada yang dibedakan, tidak ada yang ditolak dilayani. Semua
penumpang dihargai, diterima sebagai dirinya sendiri.
Para
penumpang pun semua diam, tidak saling mengusik. Beberapa bahkan
merasa perlu mengobrol dengan orang di sebelahnya, berusaha membangun
relasi baik. Tidak ada yang meminta supir untuk menurunkan penumpang
lain. Tidak ada yang saling pukul karena seseorang memakai rosario
dan satunya lagi tasbih. Semua menjaga kenyamanan demi keselamatan
bersama.
Supir
travel juga mengisyaratkan saya sejumlah hal. Dia mendengarkan
keluhan seluruh penumpang. Dia juga tak segan turun, menuju bagasi di
belakang, dan menurunkan tas besar bila diminta penumpang mana pun.
Kembali, tak ada pembedaan perlakuan. Dia mengantarkan setiap
penumpang ke tempat tujuan, tidak peduli berkerudung atau berkalung
salib. Bukankah
presiden harusnya seperti itu?
---
---
Saya
tidak pernah berpikir 150km Jakarta-Bandung akan sepusing ini.
Ternyata perjalanannya bisa ditarik sampai ke isu-isu global: korupsi
dan HAM. Atau jangan-jangan sebaliknya? Jangan-jangan perjuangan
untuk dua hal di atas sebetulnya memang sudah mudah sejak awal.
Jangan-jangan pertarungan itu memang kita temukan sehari-hari, bukan
di kantor KPK dan Komnas HAM. Jangan-jangan jurusnya sudah tertanam
di dalam hati, bukan di tumpukan regulasi atau sejumlah aksi.
Kita
bisa menonton ratusan koruptor keluar masuk tahanan, membaca UU
Tindak Pidana Korupsi, follow akun Twitter KPK, tapi tidak
serta-merta membuat kita mengerti apa itu kejujuran. Kita juga tidak
otomatis menghormati hak asasi manusia hanya dengan menghapalkan
DUHAM, mengutuk Hendropriyono di Facebook, atau berpayung hitam-hitam
ikut Kamisan. Mempelajari keduanya adalah mengalami. Saya mempelajari
keduanya dalam perjalanan biasa.
Saya
percaya setiap penumpang tidak perlu jadi aktivis anti-korupsi hanya
untuk bersikap jujur. Saya percaya setiap dari kita bisa selalu
berkata tidak terhadap diskon yang bukan hak kita. Saya percaya kita
bisa menghapus mark
up
yang kita bubuhkan. Masih ada waktu, selalu ada waktu. Ingat, berapa
pun keuntungan yang kita dapat tidak akan menggantikan kegelisahan
yang membuntuti.
Saya
juga yakin pengusaha travel itu, termasuk seluruh stafnya, tidak
perlu jadi aktivis HAM hanya untuk memberikan rasa hormat yang sama
kepada setiap penumpangnya. Dia tidak perlu mempelajari konsep pajak
dan warga negara hanya untuk mengerti bagaimana konsep tiket dan
penumpang. Saya percaya dia hanya perlu menghormati setiap manusia.
Kejujuran
dan rasa hormat. Saya percaya dua hal itu bisa membuat bangsa ini
jadi kekar dan rupawan. Kembali menjadi bangsa kuat, tanpa orang
lapar karena bantuan untuk mereka menghilang sebagian, tanpa orang
menangis karena gerejanya ditutup kelompok intoleran.
Cukup
jujur dan hormat, cukup. Generasi muda bisa memperjuangkan itu setiap
hari. Tidak melulu lewat aksi. Semua bisa dimulai oleh diri sendiri,
hari ini.***
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran