LGBT dan Grasak Grusuk Grindr*

*Dimuat di situs Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk.org)



Niat pemerintah untuk memblokir aplikasi kencan Grindr mulai berbuah aksi. Jumat (30/10/2016) lalu, teman saya yang gay mengatakan sudah tidak bisa mengakses aplikasi tersebut. Dari dia pula, saya mengetahui bahwa pihak Grindr telah memikirkan upaya pemerintah itu, dan menganjurkan penggunanya memakai VPN untuk mengakses Grindr lewat server lain.

Teman saya menyatakan komunitas LGBT tidaklah bodoh. Bahwa mereka akan selalu menemukan cara untuk tetap berkomunikasi dengan sesama, baik itu lewat Grindr, Blued, Hornet, dan aplikasi sejenisnya.

Memang bagus kalau komunitas LGBT bisa tetap terhubung dan menjadi dirinya sendiri. Tapi ini bukan soal seberapa internet-savvy seorang gay untuk mengakses aplikasi itu. Bukan soal seberapa solid komunitas LGBT akan mencari jalan keluar. Bukan soal VPN. Masalah sebenarnya adalah pemerintah melakukan sensor dunia maya, diperparah dengan bias terhadap warganya.

Dalam hemat saya, pemerintah melakukan 3 kekeliruan ketika memblokir Grindr. Kesalahan pemerintah ini adalah melanggar kebebasan sipil, salah sasaran, dan menerapkan standar ganda.

Sebuah negara demokrasi, yang menghormati kebebasan sipil dan wilayah privat, tidak berhak membatasi sebuah aplikasi kencan. Romantika adalah urusan warga, bukan urusan negara. Terlepas dari apapun yang dilakukan warga dalam aplikasi itu, dari cari teman sampai jual produk, biarkan jadi urusan warga. Kewajiban negara adalah membenahi urusan publik: menghapus kemiskinan, memberantas korupsi, mengurangi macet. Mohon dicatat, warga tidaklah membayar pajak supaya aparatur mengurusi kencan, moral, atau selangkangan.

Hal kedua adalah pemerintah menggunakan jalan pintas memblokir aplikasi kencan demi apa yang disebut “memberantas prostitusi anak”. Pemblokiran ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Sebab prostitusi anak bisa dilakukan lewat aplikasi apa saja –mau Facebook, Twitter, Grindr, Blogger, Whatsapp, Friendster, atau fax sekalipun. Ibarat pisau yang bisa digunakan untuk banyak hal, kalaulah ada yang menggunakannya untuk membunuh, apa kita harus melenyapkannya dari seluruh dunia? Tidak.

Kesalahan ketiga menurut saya merupakan pangkal masalahnya: bias negara. Pemerintah–memang sudah sejak di dalam pikiran–memandang LGBT sebagai suatu penyakit dan salah. Padahal, WHO telah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa sejak 1990, juga Kemenkes melakukan hal yang sama terhadap PPDGJ III sejak 1993.

Di samping itu, kita semua tahu, sejumlah kasus prostitusi anak dilakukan juga oleh orang heteroseksual. Artinya, tak ada hubungan prostitusi dengan orientasi seks. Mau homoseksual atau heteroseksual, prostitusi anak adalah prostitusi anak. Pemerintah seharusnya hanya memakai seragam kedinasan mereka dan meninggalkan jaket moralnya di rumah. Satu-satunya alat yang harus digunakan pemerintah adalah hukum, bukan dasar suka tidak suka.

Pemblokiran Grindr dan jajaran aplikasi lainnya menunjukkan kemalasan pemerintah dalam mengurai akar utama prostitusi anak. Akhirnya pemerintah hanya menjadikan Grindr sebagai kambing hitam, dan LGBT sebagai musuh bersama. Sedih melihat pemerintah berlindung di bawah ketiak moral hanya untuk menutupi fakta bahwa dia tidak becus mengurusi tata negara.

Rio Tuasikal, penerima fellowship “Better Journalism for LGBTI” dari AJI-UNDP

Comments