Uwu, Saya Gemas Melihat Orang Melafal "Pasteur" dan "Purbaleunyi"

Untuk yang suka mengejek orang Sunda soal 'f' dan 'v'
Aksara 'eu' dalam bahasa Sunda (Wikimedia Commons)

"Untuk informasi selengkapnya, kita bergabung bersama Jurnalis Kompas TV Nadia Hafizha di gerbang tol Past(e)r, Bandung, Jawa Barat."

Eh apa? Paster atau Pasteur? 

Musim mudik seperti ini, nama pintu tol Pasteur dan tol Purbaleunyi, keduanya di Bandung, selalu masuk berita---dan banyak orang selalu keliru ketika melafalkannya. Baik itu reporter televisi, pejabat atau petugas Kementerian Perhubungan, termasuk pemudik sendiri yang melewati Jawa Barat.


Mereka keliru mengucapkannya sebagai Paster, dengan 'e' biasa seperti dalam menyenangkan. Padahal seharusnya 'eu'. Bunyinya kira-kira kayak temen Spongebob, si Patrick Star pas lagi bengong. Saking susahnya cari video yang bisa menjelaskan itu, berikut saya bikin video sendiri hahaha..


Sedikit pengetahuan Basa Sunda. Tidak seperti banyak yang lain, bahasa ini memiliki tiga jenis e: ada é, e, dan eu. Yang pertama (é) bacanya seperti enak. Yang kedua (e) seperti sedih. Yang ketiga (eu) ini adalah keajaiban bahasa Sunda yang hanya lidah penutur asli yang dapat melakukannya. Eh tapi di bahasa Aceh juga ada lafalnya kok, contohnya Meulaboh.

Bahasa Sunda punya banyak kosakata 'eu'. Misalnya peuyeum (singkong fermentasi), hareudang (gerah), dan euy (ekspresi penekanan). Ka mana euy? Saya sendiri, yang lahir di Tasikmalaya dan besar di Bandung, dari ibu yang Sunda dan ayah Sunda-Ambon, jadi terlatih bisa mengucapkannya. 

Nah, basa Sunda juga punya keunikan lain, karena secara tradisional tidak mengenal 'f' dan 'v'. Hal ini membuat orang Sunda punya stereotip tidak bisa melafal 'f'. Saya tetap bisa sih karena dari kecil pakai bahasa Indonesia di rumah. Tapi masih banyak orang Sunda di luar sana yang kesulitan.

Bahasa sangat mengakar tidak hanya secara budaya tapi juga fisik. Saya baru tahu bahwa bahasa melatih anatomi lidah-mulut menjadi fleksibel dengan bunyi tertentu dan tidak terhadap bunyi yang lain. Inilah yang disebut aksen. 

Orang Jepang bilang 'bully' menjadi 'burry', orang Tiongkok melafal 'world' sebagai 'woh', dan orang Prancis malah melafalkan 'hospital' jadi 'opital'. Semua karena lidah kita, apapun bahasa ibunya, berangsur kaku ketika kita mencapai usia tertentu. 

Di Amerika Serikat, di mana migran datang dengan berbagai logat bahasa, upaya menetralisasi aksen menjadi bisnis besar. Modifikasi aksen jadi pilihan sebagian mereka yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau ketiga. Accent reduction ini misalnya didorong organisasi American Speech–Language–Hearing Association (ASHA) dan Accent Reduction Training Association (ARTA). Meski pemerintah AS menjamin kesempatan kerja adil bagi semua orang, tetap saja aksen menjadi semacam halangan sosial yang bagi sebagian orang ingin dihilangkan. 

Saya termasuk yang percaya aksen adalah bagian dari diri kita. Jika ada yang ingin menghilangkan silakan, yang ingin mempertahankan juga silakan. Tidak perlu ada pemaksaan. Begitu pun dengan orang Sunda yang terjebak dengan 'p', dan orang non-Sunda yang belepotan menyebut Purbaleunyi. Sama-sama gemas saja. Ternyata di situlah indahnya keberagaman kita. 

Satu hal terakhir. Saya ingin mengklarifikasi tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada orang Sunda. Kata siapa orang Sunda nggak bisa ngomong 'f'? Itu mah pitnah!***

Comments