Ketika Berita Saya Dicap “Pro-LGBT”


Poster unjuk rasa anti-LGBT di Bogor, Jumat (9/11/2018) siang

Ketika laporan saya ‘Pengamat Nilai Indonesia Punya Ruang Bagi LGBT’ dikomentari 400 netizen, kemarin, saya tidak kaget kalau saya dicap bias dan pro-LGBT. Sejumlah komentar netizen menuding berita itu (dan juga media tempat saya bekerja) mendukung keberadaan minoritas gender LGBT. Tudingan yang sama disematkan pula kepada BBC Indonesia atas laporan berikut ini.

Tapi, hey, tunggu dulu. Apakah netizen bisa menjelaskan apa itu bias dan pro-LGBT? Tidak ada yang membahasnya. Mereka bahkan tidak menyebut bagian mana dari laporan saya atau laporan BBC yang dianggap bias. Saya malah curiga mereka tidak benar-benar membaca isi laporan dan hanya menghakimi, secara reaktif, berdasarkan interpretasi mereka terhadap judul semata.

Dari mana netizen mengambil kesimpulan bahwa laporan itu mendukung A atau B? Ketika saya menulis bahwa LGBT menjadi korban kekerasan, dan bahwa Islam punya tafsir alternatif terhadap keberadaan LGBT, apakah saya mendukung keberadaan LGBT? Saya hanya memberitahu bahwa itulah keadaannya. Laporan ini tidak meminta netizen mengubah sikap atau kepercayaannya jika mereka tidak suka LGBT, saya hanya bilang ‘ada lho pendapat lain’. Kalau tidak suka, silakan, tapi netizen tidak bisa mematahkannya hanya dengan marah-marah atau menghujat.

Sejumlah netizen memberikan komentar tudingan terhadap BBC Indonesia atas laporannya

Sebagai sebuah produk jurnalistik, laporan saya dan BBC bisa diuji, diukur, dan dipertanggungjawabkan. Keduanya memasukkan aspirasi dari kelompok yang menolak LGBT, dan menambah analisa pengamat, dan menambah konteks. Saya percaya bahwa keduanya telah tunduk pada disiplin jurnalisme.

Sekarang bandingkan dua laporan itu dengan laporan ini dan laporan ini. Dua laporan ini, bersama sejumlah laporan media nasional dan lokal Bogor, melaporkan unjuk rasa itu dengan hanya mengutip kelompok anti-LGBT dan pemerintah Bogor yang isinya senada. Lalu apakah ini yang disebut keberimbangan?

Jelas netizen tidak membicarakan keberimbangan jurnalisme melainkan menuntut jurnalis melayani ego mereka supaya hanya menulis yang ingin mereka baca. Mata dan hati mereka sudah dikunci oleh kepercayaan sendiri sehingga hanya bisa dan ingin menerima informasi yang sesuai dengan yang dipercaya. 

Jurnalisme vs Polarisasi Masyarakat

Sejumlah media nasional dan lokal Bogor hanya
mengutip kelompok anti-LGBT dalam beritanya. 
Inilah sulitnya membuat laporan atas isu kontroversial dalam masyarakat yang terpolarisasi. Orang-orang sudah terjebak dengan dikotomi pro atau kontra. Kalau tidak dukung ini berarti menolak. Kalau tidak menolak otomatis mendukung. Padahal kita semua tahu tidak seperti itu.

Saya ingin mengedepankan analogi dengan makan bakso. Ada yang suka makan bakso dengan sambal dan kecap tapi saya lebih suka bening saja. Apakah artinya saya membenci sambal dan kecap? Tidak. Saya hanya tidak menggunakannya. Ada yang suka mie kuning ada yang bihun. Apakah yang suka mie kuning berarti harus membenci bihun? Tidak kan?

Tidak semua orang menyukai olahraga renang. Apakah saya membenci renang? Tidak. Apakah saya mau renang? Boleh kalau ada yang ajak. Berarti suka renang? Tidak juga. Kalau tidak ada yang ajak juga tidak apa-apa. Saya biasa-biasa saja.

Selalu ada ‘ruang antara’ mengenai semua hal. Semuanya tidak harus dilihat sebagai pro-kontra. Tidak harus suka atau benci. Selalu ada opsi ketiga ‘biasa-biasa aja sih’. Kita semua merindukan padang rumput ini. Tempat di mana orang bisa bijaksana menerima perbedaan orang lain meski mereka tidak menyukainya.

Netizen boleh tidak suka LGBT tapi ‘nggak apa-apa kok mereka hidup kan manusia juga’. Netizen boleh banget nggak setuju dengan LGBT tanpa melakukan kekerasan atau diskriminasi terhadap mereka.

Saya tahu dan mengalami, menawarkan 'ruang ketiga' kepada masyarakat yang terbelah itu tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Bagi jurnalis yang tengah melakukannya, mari kita bergandengan tangan dan saling menguatkan.*

Comments

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran