Aktivisme Digital: Efektif atau Tidak?
Apakah aktivisme daring bisa mendorong perubahan sosial? Jika iya, di mana kekuatan dan batasannya? Esai ini berusaha menjawab dengan memadukan pendapat ilmuwan sosial dari kubu optimis dan kubu kritis. Lewat dua perspektif ini kita akan melihat apa yang ditawarkan medsos untuk gerakan sosial, dan akhirnya menghindari jebakan slacktivism.
Sumber foto: https://www.voaindonesia.com/a/penundaan-ruu-p-ks-semakin-ditunda-semakin-banyak-korban/5492115.html
Retweet, hashtag, dan petisi online. Generasi yang lahir setelah tahun 90-an memang sangat dimudahkan oleh internet untuk menyuarakan apa yang dia percaya. Generasi muda bisa menunjukkan kepeduliannya terhadap apa saja—kesetaraan gender, hukum yang adil, pelestarian alam—lewat sentuhan jari di ponsel. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang perlu bersuara lewat unjuk rasa dan distribusi selebaran.
Apa saja bukti kekuatan aktivisme daring? Pada 2011, rakyat Mesir menggunakan Twitter untuk menyatukan kekuatan politik dan menjatuhkan rezim yang berkuasa, menandai dimulainya “Arab Spring”. Pada 2014, kampanye #IceBucketChallenge berusaha menyadarkan masyarakat akan penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan menjaring donasi publik.
Pada 2020, #BlackLivesMatter membawa jutaan orang berunjuk rasa menuntut dihentikannya brutalitas polisi terhadap masyarakat Kulit Hitam di AS. Di Indonesia, ada #DietKantongPlatik, #SahkanRUUPKS, dan #TolakOmnibusLaw, yang masing-masing berhasil membentuk gerakan sosial yang masif.
Namun gerakan sosial di dunia digital tak lepas dari berbagai kritik dan sikap nyinyir. Online activism kerap dilabeli sebagai slacktivism, alias aktivisme bagi pemalas. Banyak yang menilai advokasi digital tak bisa dibandingkan dengan advokasi di dunia nyata. Tak sedikit pula yang buru-buru melabel bahwa penggerak daring tidak mampu membawa perubahan yang nyata. Benarkah demikian?
Kubu Optimis
Ketika internet hadir, dia menjadi harapan akan reformasi sosial. Internet dipercaya memberikan ruang bagi masyarakat, orang biasa, rakyat, untuk bersuara lebih lantang. Internet juga menawarkan kemudahan distribusi, di mana pesan aktivisme dibuat nyaris tanpa biaya, cepat disirkulasikan, dan dapat menjangkau orang di seluruh dunia. Tak heran jika banyak yang menyebut medsos sebagai pilar demokrasi kelima.
Sejumlah ilmuwan telah lama melihat potensi medsos sebagai sarana kampanye yang sangat efektif. Internet bisa menjangkau publik dengan sangat cepat dan mentransformasi suara warga menjadi sebuah aksi kolektif. Medsos pun dijuluki punya kekuatan distruptif yang akan membongkar tatanan politik dan pemerintahan yang kaku. Kubu techno-solutionist bahkan merayakan Twitter dan change.org sebagai platform demokratisasi.
Profesor Antropologi di Northeastern University, Jeffrey Juris, menyebut internet memiliki kekuatan ‘logics of aggregation’. Lewat internet, pesan aktivisme bisa disebar dengan cepat lewat broadcast message, dan bisa mendorong publik untuk berkumpul di dunia nyata (Davis, 2019). Hal ini jauh lebih murah dan mudah ketimbang 20-30 tahun lalu di mana pergerakan politik harus dilakukan lewat medium selebaran atau buku.
Pendapat ini diperkuat oleh Profesor Politik University of Washington, Lawrence Bennet, dan peneliti Stockholm University, Alexandra Segerberg. Dua orang ini menyebut ‘logics of connective action’ ketika menggambarkan internet telah membuat gerakan politik menjadi lebih cair, bisa melibatkan rakyat secara umum, dan tidak perlu hierarkis. Perkembangan teknologi komunikasi ini memungkinkan munculnya berbagai strategi mobilisasi dan bentuk kampanye baru, yang belum terbayangkan pada dekade-dekade sebelumnya. (Davis, 2019)
Pada titik ini, internet dan medsos memang memberikan kemudahan pada aktivisme, dari segi biaya, waktu, dan jangkauan. Internet juga menawarkan bentuk aktivisme baru yang sebelumnya tidak tersedia.
Kubu Kritis
Namun sejumlah ilmuwan sosial lain memperingatkan bahwa internet dan medsos sudah terlalu diglorifikasi. Para ilmuwan ini mengkritik pendapat optimis yang melihat kekuatan internet dalam isolasi ruang hampa. Bahwa betul ada kekuatan perubahan, tapi pada kenyataannya, internet tetap akan dipertandingkan dengan struktur ekonomi, politik, dan sosial di sekitarnya. Kubu critical political economist ini menyatakan, aktivisme di dunia digital pada akhirnya tetap terbentur dengan kepentingan korporasi, mekanisme pemerintah, dan sistem media massa.
Sosiolog Turki, Zeynep Tufekci (2017), misalnya, menyatakan bahwa gerakan sosial di internet mudah dibentuk tapi susah dipertahankan dan dimenangkan. Perempuan yang meneliti media dan Arab Spring ini mencatat, medsos memang mempercepat perorganisasian massa. Tapi, dia mengingatkan, ia tidak serta merta memangkas proses konsolidasi tradisional yang terjadi di dunia nyata. Intinya, proses musyawarah di dunia nyata harus tetap dilakukan, kendati pun itu berliku dan memakan waktu.
Sementara itu, Profesor Jurnalisme di University of Texas at Austin, Dhiraj Murthy (2013), mengatakan Twitter perlu ditempatkan dalam konstelasinya dengan sistem politik dan media. Media sosial bisa memfasilitasi, tapi bukan satu-satunya strategi dalam perubahan sosial. Ia tetap harus bergandengan tangan dengan upaya di media massa, demonstrasi, dan bentuk desakan lainnya.
Kita semua dapat melihat contoh limitasi aktivisme digital di Indonesia. Tagar #SahkanRUUPKS, misalnya, meskipun masif, tetap bergantung pada dinamika kepentingan di DPR. Pada kenyataannya, partai politik di parlemen punya kepentingan lain yang bukan merupakan pengesahan RUU tersebut.
Sementara tagar #TolakOmnibusLaw, yang menjaring ratusan ribu orang bersuara online dan berdemonstrasi offline, tetap dikonfrontasi oleh mekanisme di luarnya. Meski gerakan ini masif dan sering jadi trending topic, nyatanya kepentingan politik dan ekonomi kelompok elit lebih kuat. Buktinya, pemerintah dengan mudahnya meminta aktivis menggugat ke Mahkamah Konstitusi ketika UU Cipta Kerja disahkan, setelah sebelumnya menutup telinga dari suara rakyat selama proses legislasi berlangsung.
Activism vs Slacktivism
Dalam contoh #SahkanRUUPKS dan #TolakOmnibusLaw, kita tahu tujuan kedua tagar tersebut belum sepenuhnya tercapai di tahap legislatif. Apakah ini bukti kegagalan aktivisme digital? Apakah ini bukti kemalasan orang-orang dalam melakukan pergerakan?
Apakah Twitter dan change.org pada dasarnya membuat orang malas—sehingga wajar keduanya dituding sebagai platform slacktivism? Menurut saya tidak. Keduanya mampu memainkan peran agregasi dan aksi konektif yang digambarkan ilmuwan sosial. Keduanya tetap merupakan platform yang bisa digunakan untuk aktivisme.
Lalu, apakah yang malas adalah aktivis karena memilih media sosial sebagai sarana kampanye? Menurut saya tidak, karena aktivis #SahkanRUUPKS dan #TolakOmnibusLaw juga melakukan kerja-kerja offline, seperti demonstrasi (yang ini dijamin UU kita), edukasi bagi publik, dan desakan ke parlemen.
Jadi apakah yang malas itu kita, warga biasa, yang meretweet tagar tanpa turun ke jalan? Bukan juga. Karena satu suara tetap bernilai besar jika diakumulasikan. Suara-suara warga ini pun sudah banyak menghasilkan perubahan, baik dalam bentuk petisi online maupun tagar, yang jadi pendukung demonstrasi atau desakan.
Menurut saya, slacktivism lebih cocok didefinisikan sebagai ilusi perubahan. Ilusi ini memang mudah menjebak kita. Kita merasa perubahan sosial telah terjadi karena sebuah hashtag menjadi trending topic, padahal dunia tetap berada dalam status quo dan berjalan seperti sedia kala. Singkatnya, retweet itu bagus, tapi kita harus sadar bahwa itu baru langkah pertama.
Karena itu, saya akan mengajak kita keluar dari jebakan slacktivisme. Di level individu, saya mengajak kita untuk tidak terpesona dengan media sosial. Internet memang sangat memudahkan, tapi jangan sampai kita terlena hanya karena sudah melakukan retweet. Lebih bagus lagi kalau kita mencurahkan tenaga atau menyumbang donasi kepada gerakan sosial yang kita percayai.
Kepada aktivis gerakan, media sosial jangan dilihat sebagai satu-satunya strategi yang akan menyelesaikan berbagai problem. Teknologi komunikasi tidak menggantikan peran musyawarah dan konsolidasi politik di dunia nyata. Medsos bukan katalis perubahan, melainkan rekombinan. Karenanya, kampanye tagar harus disertai dengan pendekatan politik langsung kepada politisi, fraksi, komisi, atau parpol di parlemen. Hal ini untuk menjamin pengaruh struktural di level pengambil kebijakan.
Ibarat lilin, satu retweet memang menjadi terang. Namun perubahan butuh jutaan cahaya yang menyala bersamaan. Jangan sampai api itu lekas padam.***
Referensi:
1. Davis, Aeron. (2019) Political Communication: A New Introduction For Crisis Times. Cambridge: Polity
2. Tufekci, Zeynep. (2017) Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale: Yale University Press
3. Murthy, Dhiraj (2013) Twitter: Social Communication in the Twitter Age. Cambridge: Polity
Dalam contoh #SahkanRUUPKS dan #TolakOmnibusLaw, kita tahu tujuan kedua tagar tersebut belum sepenuhnya tercapai di tahap legislatif. Apakah ini bukti kegagalan aktivisme digital? Apakah ini bukti kemalasan orang-orang dalam melakukan pergerakan?
Apakah Twitter dan change.org pada dasarnya membuat orang malas—sehingga wajar keduanya dituding sebagai platform slacktivism? Menurut saya tidak. Keduanya mampu memainkan peran agregasi dan aksi konektif yang digambarkan ilmuwan sosial. Keduanya tetap merupakan platform yang bisa digunakan untuk aktivisme.
Lalu, apakah yang malas adalah aktivis karena memilih media sosial sebagai sarana kampanye? Menurut saya tidak, karena aktivis #SahkanRUUPKS dan #TolakOmnibusLaw juga melakukan kerja-kerja offline, seperti demonstrasi (yang ini dijamin UU kita), edukasi bagi publik, dan desakan ke parlemen.
Jadi apakah yang malas itu kita, warga biasa, yang meretweet tagar tanpa turun ke jalan? Bukan juga. Karena satu suara tetap bernilai besar jika diakumulasikan. Suara-suara warga ini pun sudah banyak menghasilkan perubahan, baik dalam bentuk petisi online maupun tagar, yang jadi pendukung demonstrasi atau desakan.
Menurut saya, slacktivism lebih cocok didefinisikan sebagai ilusi perubahan. Ilusi ini memang mudah menjebak kita. Kita merasa perubahan sosial telah terjadi karena sebuah hashtag menjadi trending topic, padahal dunia tetap berada dalam status quo dan berjalan seperti sedia kala. Singkatnya, retweet itu bagus, tapi kita harus sadar bahwa itu baru langkah pertama.
Karena itu, saya akan mengajak kita keluar dari jebakan slacktivisme. Di level individu, saya mengajak kita untuk tidak terpesona dengan media sosial. Internet memang sangat memudahkan, tapi jangan sampai kita terlena hanya karena sudah melakukan retweet. Lebih bagus lagi kalau kita mencurahkan tenaga atau menyumbang donasi kepada gerakan sosial yang kita percayai.
Kepada aktivis gerakan, media sosial jangan dilihat sebagai satu-satunya strategi yang akan menyelesaikan berbagai problem. Teknologi komunikasi tidak menggantikan peran musyawarah dan konsolidasi politik di dunia nyata. Medsos bukan katalis perubahan, melainkan rekombinan. Karenanya, kampanye tagar harus disertai dengan pendekatan politik langsung kepada politisi, fraksi, komisi, atau parpol di parlemen. Hal ini untuk menjamin pengaruh struktural di level pengambil kebijakan.
Ibarat lilin, satu retweet memang menjadi terang. Namun perubahan butuh jutaan cahaya yang menyala bersamaan. Jangan sampai api itu lekas padam.***
Referensi:
1. Davis, Aeron. (2019) Political Communication: A New Introduction For Crisis Times. Cambridge: Polity
2. Tufekci, Zeynep. (2017) Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale: Yale University Press
3. Murthy, Dhiraj (2013) Twitter: Social Communication in the Twitter Age. Cambridge: Polity
——
* Esai ini disarikan dari tugas kuliah dalam program studi MA Media and Communications di Goldsmiths, University of London, yang penulis tempuh. Sebelum melanjutkan studi, penulis bekerja sebagai jurnalis selama 7 tahun bagi Kantor Berita Radio (KBR) dan Voice of America (VOA), meliput dari Indonesia dan Amerika Serikat.
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran