Membibit Toleransi di Bandung
Pada November 2012 lalu, di Bandung, sebelas komunitas
peduli keragaman melakukan deklarasi. Deklarasi Bandung Lautan Damai namanya.
Komunitas-komunitas itu antara lain Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, SETARA
Institute, Layar Kita dan lainnya. Deklarasi ini dilakukan dalam rangka Hari
Toleransi Internasional. Acara ini terbuka untuk umum dan dilengkapi dengan
berbagai pertunjukan puisi dan orasi budaya.
Sepanjang tahun 2012 pula, masih di Jawa Barat,
terdapat banyak pelanggaran
kebebasan beragama. Dari data midterm report SETARA Institute, sejak Januari
hingga November 2012 saja, di Indonesia terjadi 224 pelanggaran yang mengandung
315 bentuk tindakan. Wilayah Jawa Barat, dengan Bandung sebagai ibukota, adalah
daerah dengan jumlah peristiwa tertinggi melampaui daerah lainnya.
Cerita
di atas menjelaskan betapa Bandung adalah paradoks. Deklarasi dilakukan
berulang-ulang. Deklarasi dimana-mana. Di sisi lain, kekerasan pun berulang-ulang.
Kekerasan di mana-mana. Toleransi di satu sudut, intoleransi di sudut lain. Seperti
banyak bibit di satu tempat, kekeringan di tempat lain. Rupanya ada senjang
antara kedua belah pihak. Semacam tidak nyambung. Sibuk sendiri.
Munculnya
tindak kekerasan patut disayangkan. Namun hal ini memang keniscayaan Bandung
sebagai kota yang memikat. Sejarah mencatat, sejak dulu Bandung memang menarik
bagi banyak pendatang. Pendatang itu membawa latar belakang etnis, suku dan
agama yang berbeda. Perbedaan tanpa pengertian adalah ancaman. Untuk itu,
bibit-bibit toleransi perlu ditanam di tiap jengkal.
Bibit-bibit
toleransi di Bandung sebenarnya banyak. Selama ini pun kita melihat banyak
deklarasi damai di Bandung, atau Yogyakarta, atau daerah lain di Indonesia. Namun
sayang sekali, deklarasi selama ini kerap salah orang dan salah tempat. Pihak
yang melakukan deklarasi adalah yang pada dasarnya memang setuju. Mereka adalah
pegiat keragaman, para moderat, yang selalu sepakat untuk sepakat. Justru di
tempat lain, pelaku kekerasan adalah masyarakat awam, di level akar rumput,
yang sebagian berpaham ekstrem.
Masyarakat
inilah yang sebenarnya perlu berkenalan dengan toleransi. Harusnya mereka yang
saling berinteraksi, saling mengerti, dan akhirnya berdeklarasi. Namun hal itu
sulit, memang. Maka mahasiswa, aktivis, komunitas dan lembaga peduli keragaman jangan
hanya menunggu seraya berharap. Mahasiswa haruslah menjemput masyarakat.
Mengajak mereka secara langsung ikut terlibat.
Menanam
bibit toleransi pada masyarakat awam tidak perlu lewat seminar hak azasi.
Mereka akan keburu takut. Pegiat keragaman hanya perlu mengumpulkan masyarakat
dari berbagai latar etnis, suku dan agama di satu kesempatan. Bila perlu
kumpulkan anggota ormas yang ekstrem itu. Suguhi pertunjukan seni, permainan
dan beberapa piring camilan. Biarkan mereka berkenalan dan berbincang. Bincang
yang merobohkan batas-batas stereotip. Cukup begitu. Maka tanpa perlu disuapi,
mereka sudah menanam bibit toleransi.
Kadang kita berpikir rumit untuk yang sebenarnya
sederhana. Ini dia sebenarnya bibit toleransi yang Bandung butuh
untuk disemai. Bukan melulu ratusan deklarasi, cukup satu interaksi. Toleransi
yang sehari-hari, merakyat dan sederhana. Bila ini berhasil, jadilah toleransi
akar rumput itu. Toleransi yang mengakar dan merumput: kokoh dan hijau
sepanjang tahun. Ibarat lapangan, toleransi level ini akan menyuburkan pohon
keragaman. Buahnya pasti banyak.
Penulis, mahasiswa
Jurnalistik Unikom
Foto dari #BDGLautan Damai
Foto dari #BDGLautan Damai
Great article :)
ReplyDeletethanks isti :)
Delete