Media, Prasangka, Simalakama

Si Unyil sebelum punya laptop
Yang paling bertanggung jawab atas penyebaran stigma adalah media. Sebab kemampuannya untuk menyebarkan nilai secara serempak, sadar atau tidak, media telah membentuk persepsi publik mengenai identitas tertentu. Lewat film, sinetron dan iklannya, publik diajak percaya bahwa orang Batak itu begini, muslim itu begitu, gay itu demikian. Tak terhindarkan, publik pun belajar generalisasi.

Berita lebih buruknya, media kita sedang hobi mengaitkan segala sesuatunya dengan identitas. Muncul berita, “Seorang Gay Membunuh” atau “Perempuan Kristen Diperkosa”. Nah, kenapa juga gay atau Kristen harus disebutkan? Tentu kita tahu ada heteroseksual yang juga membunuh. Pun tidak ada hubungan antara pemerkosaan dan agama seseorang. Dan kita tidak bisa menentukan apakah itu buah keteledoran wartawan atau memang kesengajaan.

Bayangkan bagaimana Anda terpaksa percaya bahwa suku tertentu memang menyebalkan. Misalnya Anda belum pernah kenal orang Batak secara langsung dan hanya tahu dari berita pembunuhan oleh orang yang kebetulan Batak, pencopetan di Jakarta oleh orang yang kebetulan Batak, dan segala hal buruk yang secara kebetulan berafiliasi dengan Batak. Lalu kita seenaknya berkesimpulan bahwa semua orang Batak memanglah menyebalkan. Ya, semudah itulah kita berprasangka. Inilah benih menuju perkelahian atas nama SARA.

Lihatlah antisipasi tetangga kita Malaysia: Upin Ipin. Saya melihat ada alasan besar di balik pembuatannya, bukan kartun sekadar penghibur. Upin Ipin adalah ikhtiar edukasi pada publik. Tengoklah berbagai interaksi yang diciptakan di situ. Keseharian yang menyenangkan antara Jarjit Singh yang India, Ehsan dan Mei Mei yang Tionghoa, Mail, Fizi, Upin dan Ipin yang Melayu, bahkan Susanti dari Indonesia. Betapa berharganya pelajaran toleransi yang anak-anak Malaysia saksikan ini.

Sebetulnya media Indonesia pernah selangkah lebih maju, dulu. Bentuknya kecil dan lucu, namanya si Unyil yang oleh UNICEF disebut sebagai “puppet with purposes”. Maksud saya Unyil yang kucing-kucingan dengan Ucrit, Usro juga Meilani. Bukan Unyil yang punya laptop dan hanya sibuk berkomentar soal proses produksi makanan kaleng. Ada pula serial Bajaj Bajuri yang mempertemukan orang berbagai suku dalam situasi komedi.

Tayangan-tayangan demikian adalah esensial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam. Adegan Meilani yang Tionghoa bisa kucing-kucingan dengan Unyil yang Sunda adalah pelajaran penting bahwa semua tetap bisa hidup bertetangga. Adegan Mpok Hindun yang Jawa tertawa bersama Ucup yang Betawi dalam Bajaj Bajuri adalah bahasa toleransi yang mudah dipahami. Biarlah masing-masing dengan khasnya, kamu dengan gayamu, aku dengan gayaku, mari kita tertawa bersama-sama.

Tapi ini simalakama. Okelah kita tahu bahwa meski kita berbeda-beda tetap bisa hidup bertetangga. Okelah kita tidak masalah kucing-kucingan bersama keturunan Tionghoa. Tapi di saat yang sama kita belajar semua orang Batak adalah bersikap mirip Bang Tigor, semua orang Tionghoa bersikap mirip Meilani, semua Sunda mirip Unyil, semua Malaysia mirip Upin dan Ipin. Tayangan ini ternyata mempertebal stigma juga, sementara bukan inilah yang kita harapkan. Saya akan meminta Unyil pemilik laptop menjelaskan bagaimana media membuat ini semua.***

Referensi lanjutan :
  1. Potensi konflik lintas budaya di Indonesia dalam Cultures and Communication, Deddy Mulyana
  2. Prasangka dalam Komunikasi Lintas Budaya, Larry A. Samovar dkk
  3. Media dalam Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
  4. Si Unyil dalam web UNICEF
Gambar dari Wikipedia

Comments