Telepenis


Belahan payudaranya saya sensor.

Ketika saya menonton “Curse of the Golden Flower” dua hari lalu, saya heran dengan payudara permaisuri yang diburamkan. Seingat saya, waktu menontonnya dulu, belahan payudaranya memang terlihat, tapi saya tak begitu peduli. Kini, saat itu disensor, justru saya makin dibuat penasaran.

Barusan saja, saya melihat iklan minuman energi yang memajang puluhan laki-laki atletis tanpa atasan. Bawahan mereka jeans. Adegannya adalah mereka berlari di padang rumput. Dada mereka yang bidang itu bergoyang naik turun.

Dua visual itu sama-sama menjual badan untuk menarik perhatian. Keduanya sama-sama menyajikan dada untuk mengikat mata. Namun, marilah masuk akar soal, kenapa iklan itu tidak turut diburamkan?

Rupanya inilah yang disebut oleh Dewi Chandraningrum sebagai “kamera berkelamin”. Dalam tulisannya di buku “Jurnalisme Keberagaman”, Dewi menyoal pembedaan perlakuan media terhadap tubuh perempuan dan laki-laki. Perempuan diberi banyak batasan, sedangkan lelaki dibiarkan.

Dewi menyomot kasus Inul Daratista yang goyangannya diprotes oleh Rhoma Irama. Padahal, menurut Dewi, Rhoma Irama pun pernah membuka kancing baju sehingga penonton bebas memandang dadanya. Tak pernah ada yang mencekalnya.

Dua kasus itu kembar, hanya beda jenis kelamin. Nah, kenapa kita seolah menutup mata bahwa Rhoma juga menjadikan birahi sebagai bumbu seni? Inilah persisnya cerminan budaya patriarki. Dalam budaya ini, perempuan dianggap sebagai objek, dan karenanya harus dibatasi, ditutupi, dikuasai, oleh si subjek yang lelaki.

Dalam budaya yang subjeknya laki-laki, birahi perempuan tidak dianggap, tidak dihitung, tidak ada. Biarlah mereka tak berbirahi, bila masih menggoda sunat saja vaginanya. Maka lelaki membawa kain-kain untuk menutupi perempuan. Lelaki bilang ini untuk perlindungan, padahal bentuk penguasaan.

Di budaya yang tak menghitung perempuan, perempuan mengalami gempuran tiga sisi. Pertama, tubuhnya ditutupi, dianggap tabu dan tak boleh diganggu. Kedua, birahinya tidak dihitung. Tapi sebaliknya, inilah poin ketiga, bila ada pemerkosaan tetap saja perempuan yang disalahkan.

Dalam dunia patriarki, lelaki bebas berkelana, sedangkan perempuan hanya boleh di tiga tempat saja: dapur, sumur dan kasur. Di dunia yang dikuasai laki-laki, media pun mewadahi keinginan dan kepentingan mereka-mereka ini.

Maka kasihan perempuan di televisi. Saat Miss World 2013 digelar di Indonesia beberapa bulan lalu, gelombang penolakan muncul di jalanan hingga media sosial. Lelaki berargumen bahwa ajang ini hanya sebuah eksploitasi tubuh perempuan dan kepentingan kapitalis. Warga Indonesia sepatutnya menolak ini, katanya. Di sisi lain, ajang pencarian lelaki atletis L-Men of the Year 2013 digelar hampir berbarengan. Dalam ajang ini, lelaki dibiarkan bertelanjang dada, bahkan itulah poin utama penilaiannya. Meski L-Men sudah digelar sejak 2004 di Indonesia, tak pernah ada sekali pun penolakan.

Inilah televisi saat ini. Ia menyembunyikan tubuh perempuan sambil menjualnya dalam diam. Lewat sinetron, film dan bahkan iklan, ia telah mengurung perempuan dalam dunia buatan tentang air mata. Saat perempuan melihat iklan pembersih vagina, perempuan sibuk berencana tentang memuaskan diri suami. Memuaskan suami, bukan dirinya sendiri.***

Comments