#4 Independen: Publik dan Ideologi Politik, di Antaranya



“Independensi semangat dan pikiran inilah, dan bukannya netralitas, yang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh wartawan.” Saya baca kalimat itu berulang kali karena bingung. Yang saya pahami selama ini adalah jurnalisme tidak pernah memihak, sebagaimana Koran Jakarta menggunakannya sebagai jargon. Namun Bill Kovach benar-benar menulis demikian. Dia punya pandangan lain soal netralitas media ini.

Bila jurnalisme harus netral, tulisnya, rubrik kolom dan opini batal jadi produk jurnalistik. Bagaimana dengan redaktur senior the Jakarta Post Sabam Siagian yang gemar menulis kolom yang pasti beropini? Haruskah dia dicoret dari daftar wartawan? Tidak. Wartawan boleh percaya pada satu gagasan. Bila ruang opini ini hilang, justru fungsi jurnalisme untuk kontrol sosial pun lenyap.

Media tidak bisa netral sepenuhnya dari gagasan politik. Wartawan Hidayatullah.com boleh percaya sistem Islam formalistik adalah yang terbaik. Begitu pun wartawan KBR68H boleh percaya pada prinsip HAM, demokrasi dan pluralisme sebagai solusi. Namun ingat kata redaktur The Manchester (Great Britain) Guardian C.P. Scott, “komentar itu bebas tapi fakta itu suci”.

Lalu apa yang membatasi Sabam Siagian tetap disebut wartawan dan bukannya ahli propaganda, provokator atau juru penerangan? Bukankah keempat profesi itu beropini? Betul. Namun bila propaganda membolehkan manipulasi, jurnalisme menolak itu. Kredibilitas wartawan yang menulis opini akan dilihat dari kesetiaan abadi pada verifikasi dan kepentingan publik. Selain itu ada ruangnya yang baku. Dulu opini dan berita kerap jadi satu. Kini sudah ada label tegas yang memisahkan berita dari tajuk, kolom, opini, dan karikatur.

Tak ada jaminan wartawan bisa sepenuhnya putus dari ideologi. Yang membedakannya dari partisan (atau aktivis, politikus, komentator) adalah wartawan punya kesetiaan pertama pada warga. Bahwa ideologi yang dia perjuangkan bukanlah semata-mata untuk dirinya atau kelompoknya, melainkan untuk seluruh warga tanpa kecuali.

Hubungan jurnalis dan warga ini amat menarik. Meski memperjuangkan kepentingan warga, wartawan harus di luar gerakan politik, aktivisme warga, kelompok ekonomi tertentu, etnis dan ras tertentu dan lainnya. Dia tak boleh masuk partai, LSM lingkungan dan lainnya. Dia boleh percaya pada apa yang sebagian warga itu perjuangkan. Namun tidak dengan turun langsung ke jalanan dan berkegiatan.

Di sisi lain wartawan tidak boleh tercerabut dari masyarakat tempat ia hidup. Bagaimana pun wartawan harus mewakili kepentingan orang-orang ini. Dengan demikian ia harus hidup bersama mereka. Hubungan ini tarik-menarik, wartawan menjaga independensi, tapi tidak terisolasi. Sebagaimana kolumnis the New York Post Maggie Gallagher meringkasnya, “Wartawan berdedikasi memberikan informasi pada publik, namun tidak memainkan peran langsung sebagai aktivis.”[]

Comments