Valentine: Debat Kusir Moral dan Kasih Sayang*
*Tulisan ini atas permintaan kang Boim, juga merespon Tristia Riskawati
“Cokelatnya
sekalian, Mas?” tanya pegawai Alfamart itu pada saya, kemarin siang. Saya
perhatikan cokelat yang dia maksud: 3 batang Silverqueen yang diikat pita bekilau
warna ungu. Saya gelengkan kepala singkat. Saya hanya menyodorkan sebotol air
mineral dan sebotol susu. Saya membayar dua minuman itu dan lekas pergi. Saya bergumam,
Valentine sudah datang ternyata.
Pantas
saja di Facebook sudah ada debat rutin antara kelompok pacaran dan moralis. Ketika
yang pacaran heboh soal kegalauan atau rencana hari rayanya, moralis giat
menebarkan tautan berisi lagu lama. Tautan itu berisi asal usul Valentine yakni tradisi Lupercalia yang merupakan pemujaan Dewa seks dan kesuburan bangsa Romawi. Kemudian dalil bahwa yang
meniru perbuatan itu berarti bagian kaum itu. Tahun ini moralis punya amunisi
baru: mereka kaitkan perayaan Valentine dengan sejumlah bencana di Sinabung,
Manado, Jakarta, dan Kelud.
Cara
berpikir serupa saya dapatkan di khutbah Jumat saat Valentine, kemarin.
Ustadznya secara literal berkata, “banjir Jakarta adalah akibat hura-hura tahun
baru di Bundaran Hotel Indonesia.” Begitu pun bencana lainnya. Kata dia, banjir
Jakarta bisa dihilangkan dengan tobat. Terdengar tak masuk akal, bukan? Saya
punya usul, bagaimana bila usai bertobat kita membersihkan saluran air dan
tidak membuang sampah ke selokan?
Valentine
diperlakukan serupa. Di Facebook, seperti sejumlah tahun sebelumnya, beberapa
teman saya mengaitkan hari tersebut dengan pesta seks bebas. Tahun ini di Twitter,
saya menemukan hasil survei menarik dari Alfatih. “Di Indonesia, 26,4% dari 413
orang yang disurvei mengaku suka rayakan Valentine bersama gebetan atau kekasih
dengan jalan-jalan, makan-makan, ciuman lalu seks. Di beberapa daerah, tiap
tahun baru dan Valentine, penjualan kondom meningkat 40-80% terkadang malah sold out.” Memang siapa informannya dan
kenapa hanya 413, apa metode sampling-nya?
Apakah semua pembeli kondom otomatis pasangan tidak sah? Dalam laporan lengkap Alfatih di goo.gl/l6YrV7, saya tidak menemukan penjelasan metode surveinya sama sekali.
Saya tidak
merayakan Valentine. Saya tidak setuju seks bebas. Saya lebih tidak setuju
bila Valentine dikaitkan dengan seks bebas. Bagaimana dengan orang yang merayakan Valentine dengan berkumpul bersama keluarga, atau seks suami-isteri, haruskah ini dilarang? Saya pikir, kalau moralis tidak mau
merayakan ya sila saja. Tapi tak usah otomatis mencap orang lain yang Valentine sebagai pelaku
seks bebas. Saya menolak kesalahan berpikir yang sewenang-wenang. Itu namanya
berburuk sangka, dan Islam telah melarangnya.
Bila
publik berkeras Valentine adalah ekspresi kasih sayang, para moralis harusnya
menggeser akar masalahnya jadi ke ekspresinya. Bila moralis tidak setuju dengan ide seks sebagai ekspresi kasih sayang,
ubahlah mulai dari situ. Berikan alternatif ekspresi kasih sayang lain disertai argumen
gamblang soal kenapa itu lebih baik. Bila moralis melarang Valentine, selain
buang-buang waktu, moralis bisa dicap anti kasih sayang. Paling tidak dicap
jomblo.
Valentine
ini saya tidak ikut merayakan. Bukan karena takut dicap pagan atau pelaku
seks bebas. Bukan juga hanya karena saya muslim. Lebih pada pilihan menjauhi
debat yang sia-sia. Juga, dan saya kira ini alasan yang utama, karena memang
saya sedang tidak punya pacar. ***
Hasil survei lengkap Alfatih bisa ditengok di sini
Gambar sepenuhnya milik www.webdesignhot.com
Aku setuju dan juga mempraktekkan paragraf terakhirnya Rio.
ReplyDeleteOya, thn lalu aku diminta nulis di majalah Islam ttg sejarah pagan perayaan ini. Tp thn ini aku ga mau lagi, Rio. Rasanya capek sm debat2 dan perbedaan pendapat yg menyulut perpecahan bahkan dlm Islam sendiri... :'(
riooo... trimakasih tulisannya...terus berkarya...
ReplyDeletenice article bro.... moralist always think about it? why? if they don't comfort about it so just leave it behind.... simple and not energy consuming...
ReplyDeletethank you for visiting :)
Delete