Berpegangan Tangan dalam Kepelangian



Tanggal 17 Agustus bagi jemaat Ahmadiyah bukanlah soal upacara, lomba makan kerupuk, atau karnaval. Hari kemerdekaan baginya adalah sekali lagi menagih janji negara yang belakangan menelantarkan mereka.

Semua tahu lagu Indonesia Raya diciptakan oleh W. R. Soepratman. Namun tak banyak yang tahu sang maestro adalah penganut Ahmadiyah.

Sudah 69 tahun lagu itu berkumandang di seantero negeri. Selama itu pula jemaat Ahmadiyah hidup sebagai warga negara Indonesia. Namun belakangan, kehidupan mereka diganggu oleh kelompok yang dibutakan oleh prasangka berkedok agama.

Kelompok Ahmadiyah pun jadi korban serangkaian kekerasan sejak Lombok (2002), Parung (2005), Manis Lor (2010), Cisalada (2010), Cikeusik (2011), Bandung (2012), plus sederet peristiwa lainnya. Mereka terluka, sebagian tewas, sementara perlindungan negara entah pergi ke mana.

Di Lombok, mereka terpaksa mengungsi di penampungan selama 8 tahun. Mereka tinggal di aula besar dan setiap keluarga hanya dibatasi kain serta kardus. Pasangan suami istri harus berhubungan seks dalam diam karena bisa saja dipergoki oleh anak tetangga.

Mereka jadi korban karena, tak ada alasan lain, iman mereka. Mereka manusia tapi tidak diperlakukan selayaknya manusia. Luka sobek bisa sembuh dalam sepekan. Namun perasaan mereka yang diinjak-injak akan selamanya berbekas dalam ingatan.

Bagaimana bisa kita begitu munafik menyanyikan lagu ciptaan Ahmadi, sementara kelompoknya kita usir dari rumah mereka?

Ingat pula jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Syiah Sampang, dan lainnya, yang juga sama-sama warga Indonesia seperti saya dan Anda. Masih sudikah mereka jadi bagian bangsa yang mau menerima mereka asalkan mereka jadi orang lain?

Soekarno dan Hatta tidak pernah mempermasalahkan kepercayaan Soepratman saat memilih lagu Indonesia Raya sebagai pengiring kemerdekaan. Begitu pula jajaran pendiri bangsa sepakat melupakan perbedaan agama dan memilih bekerjasama demi mimpi jadi bangsa merdeka. 

Mereka berjanji membangun negara di mana setiap orang diterima sebagaimana dirinya sendiri. Mereka sepakat jadi bangsa di mana tidak ada satu orang pun, atas alasan apa pun, bisa didiskriminasi.

Pendahulu kita telah berjanji berpegangan tangan dalam kepelangian. Kini beranikah kita, sekali lagi, mengulangnya?***

Comments