#Tolikara dan Kacamata Kita


Lebaran ini dinodai kebencian.

Apa yang terjadi di Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) pagi, menjadi luka di tengah Idul Fitri yang bersuka cita. Sebuah masjid diberitakan dirusak oleh kelompok tak bertanggung jawab. Tapi respon yang bergulir membuat kita harus berhenti sejenak. Sebentar. Kacamata apa yang perlu kita gunakan?

"Bantai saja mereka," tulis seorang temannya teman saya. 'Mereka' yang dimaksud adalah pelaku, yang diduga kristen. Lalu ada teman lain yang menyangkutkan ini ke masalah mayoritas-minoritas. Muslim di bumi cenderawasih ditekan karena sedikit. Jadi kristen yang jadi minoritas secara nasional bisa diberi pelajaran.

Semakin lama cara pandang mayoritas-minoritas ini digunakan, makin suburlah balas dendam itu. Mayoritas muslim di Jawa bisa menekan minoritas kristen (baca: GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia). Lalu mayoritas kristen di Sulawesi Utara balas dendam kepada muslim di sana. Lalu Bali yang mayoritas Hindu ikut. Lalu Ambon dan Poso kembali meradang. Maka Indonesia tinggal bubar jalan!

Buang jauh kacamata mayoritas-minoritas. Sebab, di dalam negara demokrasi, semua orang punya hak yang sama. Setiap orang dilindungi tanpa dilihat dari kelompok apa. Jumlah penganut agama hanyalah angka. Hanya untuk sensus penduduk. Bukan legitimasi melakukan kekerasan terhadap mereka yang kecil jumlahnya.

Pakailah kacamata hukum dan hak warga negara. Ini bukan soal Islam atau Kristen, tapi negara yang loyo menghadapi warga yang arogan---apapun agamanya. Negara tidak boleh tunduk pada kekerasan atas nama Tuhan. Negara harus tampil gagah bersama hukum untuk melindungi korban. Negara harus menyeret pelaku intoleransi ke pengadilan!

Sangatlah memuakkan menelusuri perbicangan ini. Saya muslim, tapi kenapa kita membela iman dengan dendam yang menggebu? Bukankah kejahatan tetap menang bila semua orang baik membalas dengan cara yang sama jahatnya? Kenapa benci dibalas benci?

Di balik itu semua, apa yang persisnya terjadi di Tolikara masih sumir. Belum jelas apakah itu masjid, ruko, atau rumah warga. Surat edaran dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara pun perlu diuji kebenarannya. Betulkah itu resmi, atau buatan oknum yang ingin memecah belah? Gerakan "Papua Itu Kita" sudah menyatakan sikapnya.

Ingat, Nabi Muhammad mengajarkan tabayyun dan berlaku adil pada pemeluk agama apapun.***

Utan Kayu, Jakarta
2 Syawal 1436 H 

Rio Tuasikal menulis keberagaman manusia. Jurnalis Kantor Berita Radio 68H---yang percaya demokrasi dan hak asasi manusia. Ikuti kicau lewat Twitter @riotuasikal

Comments

  1. Jihad yang paling tinggi tingkatannya adalah melawan hawa nafsu. Bukan disentil sedikit langsung ancam pembalasan dendam dan main angkat senjata. Ramadhan ini, itulah yang saya pelajari dan saya lihat relecansinya dengan situasi yang dihadapi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran