LGBT: Linglung Gegara Berita Tak-seimbang
Oleh Rio Tuasikal*
Sudah satu bulan sejak isu LGBT menjadi bola panas. Sejak itu pula
media menghidangkan informasi bias, beracun, dan tidak bermanfaat
mengenai polemik ini.
Semua dimulai ketika rektorat Universitas Indonesia meminta SGRC UI mencopot logo ‘makara’.
Tiba-tiba, media secara meleset melabel grup tersebut sebagai komunitas
LGBT , padahal mereka adalah kelompok kajian di bidang kesehatan
reproduksi dan gender. Ada berapa media yang mewawancarai SGRC mengenai
hal ini? Bisa dihitung jari.
Selanjutnya adalah ketika Menristekdikti Mohamad Nasir melarang LGBT
masuk kampus. Hanya sedikit media yang mewawancarai kelompok LGBT untuk
dimintai pendapatnya. Media juga telah termakan omongan Nasir dan gagal
bersikap kritis.
Contoh terburuk dilakukan oleh Harian Republika yang menulis headline
“LGBT ancaman serius”. Harian nasional tersebut tidak mewawancarai satu
pun orang dari kelompok LGBT untuk menyeimbangkan berita utama. Bahkan,
ketika disomasi kelompok LGBT, Republika tetap ogah melakukan kewajiban
jurnalismenya untuk mewawancarai pihak kedua. Media ini malah kelabakan
mencari pembelaan dari berbagai pihak.
Selanjutnya bisa ditebak: pemberitaan LGBT ini makin linglung dan
bikin bingung. Sudah hilang navigasi dan makin tidak bergizi. Dari
pendapat Walikota Bandung Ridwan Kamil hingga Anggota DPR Mohammad
Nasir Djamil, jurnalis makin keasyikan asal pinjam bibir orang. Dalam
situasi ini, kelompok LGBT yang sudah dimarjinalkan sejak awal, kini dua
kali lebih rentan mendapat kekerasan. Bahkan, ketika FPI merazia orang
yang diduga gay dan lesbian di Bandung, pemerintah hanya diam dan
mengabaikan hak-hak sipil para korban.
Situasi buruk ini sangat memprihatinkan – tapi akarnya tidaklah
spektakuler. Ini bukan soal apakah sebuah media mendukung LGBT atau
tidak, melainkan soal kaidah jurnalisme dan kode etik yang diabaikan.
Semua ini terjadi hanya karena jurnalis gagal menerapkan prinsip cover both sides sejak awal. Betul, sumber masalahnya terlalu normatif, terkesan remeh, namun ini sungguh prinsipil.
Prinsip keberimbangan ini sangatlah penting. Apalagi ketika
pernyataan para pejabat yang memicu diskriminasi ini tidak didasari
pengetahuan yang memadai.
Pada kasus Nasir, misalnya, dia tidak memakai referensi ilmiah ketika
mengatakan LGBT merusak moral. Dia bahkan tidak tahu bedanya seks,
gender, orientasi seksual, praktik seksual, dan identitas seksual.
Menteri ini bahkan tidak up to date kalau WHO sudah menghapus
homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa sejak 1990, diikuti Kemenkes
yang mencoretnya dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) edisi III tahun 1993. Seandainya dia lebih banyak membaca.
Ketidaktahuan dan ketidakingintahuan pejabat publik ini seharusnya
dicegah sebelum menebalkan stigma dan menularkan kedunguan kepada
masyarakat. Seharusnya media sudah otomatis mengonfirmasi pendapat Nasir
ke kelompok LGBT saat itu juga. Media wajib memberikan ruang yang sama
lebar untuk LGBT menjelaskan kehadiran mereka dan meluruskan banyak hal.
Dengan demikian, potensi kesalahpahaman akan padam sejak awal.
Dengan menghadirkan seluruh pihak, jurnalisme akan merobohkan
prasangka, membawa debat publik jadi lebih mencerdaskan. Itulah yang
dilakukan Rosiana Silalahi bersama Kompas TV dan Jurnalis Rappler
Febriana Firdaus. Mereka bukan membela LGBT – semata mempraktikkan
jurnalisme yang benar.
Jurnalisme rusak adalah bensin bagi korek api kebencian. Semua
dimulai dari jurnalis yang tidak taat prosedur konfirmasi. Bagi siapapun
jurnalis yang malas melakukan prinsip dasar ini, sila mulai tulis surat
pengunduran diri. []
*Penulis, jurnalis KBR 68H
Gambar milik www.diversitytoday.co.uk
great and The Akala Express is in a bad state, which could even translate to loss of lives because this is an express road
ReplyDelete