Budaya Travel

Oleh Rio Rahadian

Ilustrasi kolektivitas wisatawan lokal. (wisataciamis.com)

Cobalah pergi ke pantai Pangandaran, Jawa Barat. Seringkali kita bertemu turis asing yang berjalan-jalan. Mereka berbekal peta, menjinjing botol minum, dan menggendong ransel. Sering kita lihat bule pergi sendirian, berdua, paling banyak bertiga. Mereka berkeliling pantai cukup bertiga saja. Kalau pun ramai-ramai, biasanya karena ada pemandu wisata.

Di sudut lain, masih di pantai yang sama, kita bisa menemukan turis lokal. Pakaian memang sama saja. Bedanya, turis lokal lebih sering berkelompok. Jumlahnya paling sedikit lima, bahkan bisa mencapai belasan. Biasanya mereka adalah kawanan dalam rangka touring mengisi liburan. Ada pula yang rombongan study tour dari sekolah. Tak jarang mereka berfoto bersama di pinggir pantai.

Kebiasaan ini rupanya memang cerminan budaya. Bagi turis asing dari budaya individualis, bepergian cukup sedikit orang. Budaya individualis misalnya Amerika utara, Australia dan negara Eropa barat. Sebaliknya bagi turis lokal dari budaya kolektivis, banyak orang seperti sebuah keharusan. Budaya kolektivis misalnya Indonesia dan negara-negara Amerika selatan.

Dalam budaya individualis, individu adalah individu. Kepentingan satu individu sama pentingnya dengan kepentingan individu lain. Dalam berwisata, rencana tiap orang bisa saja berbeda. Karena sama penting, bisa jadi mereka berpisah dan pergi sendiri-sendiri. Mereka tak ingin repot dengan benturan rencana.

Bagi budaya kolektivis, individu dilihat sebagai bagian kelompok. Saya adalah kelompok saya. Kepentingan individu kalah dengan kepentingan kelompok. Apa yang dilakukan saat wisata akan didasarkan pada musyawarah kelompok. Musyawarah itu akan berusaha menampung semua gagasan. Hal ini agar semua senang, dan semua tetap pergi bersama.

Masyarakat kita, memang, kerap mengartikan individualis sebagai negatif. Orang individualis dibilang egois. Padahal, di budaya asalnya kata ini merujuk pada kemandirian dan penghargaan personal. Begitu pun para antropolog mendefinisikannya.

Di lain pihak, di negara individualis, budaya kolektif pun dikaitkan dengan hal negatif. Orang kolektif dibilang banyak bergantung dan tidak cakap. Padahal, di budaya asalnya kolektivis berarti kerjasama dan menghargai kelompok.

Tiap orang punya tipenya, ada yang individualis dan kolektifis. Dua tipe ini suka menimbulkan konflik. Konflik ini sangat sehari-hari dan kerap tak disadari. Misalnya soal teman saya yang ingin pergi ke Lombok. Rencananya batal karena temannya batal. Dia tipe kolektif dan takut pergi sendiri. Padahal tiket pergi sudah dibeli.

Di sisi lain, saya termasuk sering dibilang egois. Padahal, saya memang tipe individualis yang suka pergi sendirian, atau berdua. Bukan berarti saya tidak menghargai teman-teman saya. Beberapa teman saya pun cerita masalah serupa. Mengetahui faktor budaya ini bikin kita lebih bijak. Mau orang kolektif atau individualis, sebaiknya tahu kedua tipe ini. Bila sudah tahu, kita akan menilai orang lebih arif sehingga menghindari konflik. Hal ini akan mempermudah siapapun, berdasarkan tipenya, untuk merancang perjalanan yang cocok dengannya. 

Comments

  1. excellent writing...i just love the way you presenting the main topic.
    :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran