Kado Dialog Buat Tatar Sunda*

Oleh Rio Rahadian Tuasikal

“Sebetulnya arti jihad itu apa?” tanya Ivo Sarean, seorang kristiani, siang itu. Belasan pemuda langsung menegakkan duduknya. Ricky Husen, seorang muslim, menjawabnya, “Jihad adalah berjuang di jalan Tuhan. Jihad bukan kekerasan, belajar juga merupakan jihad. Islam tidak mengajarkan kekerasan kecuali untuk mempertahankan diri.”

Dengar jawaban itu, belasan pemuda Kristen, Katolik dan Buddha lalu mengangguk. Sesi sharing agama ini berlanjut dengan pertanyaan dan jawaban yang saling mengisi. Genap dengan candaan melengkapi. Sambil duduk di kantin hotel itu, mereka saling koreksi stigma yang selama ini mereka tahu.

Dialog barusan terjadi dalam Youth Interfaith Camp, di Hotel Cherish, Lembang, Bandung. Sejak Kamis (7/3) hingga Sabtu (9/3) kemarin, 78 pemuda-pemudi dari agama Protestan, Katolik, Kristen Orthodoks, Islam dan Buddha tinggal bersama.

Di sini, peserta belajar keragaman lewat seminar, diskusi panel, sharing dan menonton film Mata Tertutup. Kegiatan yang bertema “Hand in Hand for Humanity” ini diadakan hasil kerjasama Gereja Kristen Pasundan (GKP), Universitas Kristen Maranatha dan Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub).

Saling temu pemuda di atas, dalam acara yang diadakan kalangan Kristen pula, adalah potret Jawa Barat yang heterogen namun harmonis. Hal ini seolah ingin meruntuhkan data dari berbagai lembaga yang menyoroti kebebasan beragama di Indonesia. Lembaga-lembaga ini, sejak beberapa tahun terakhir, sepakat bahwa Jawa Barat adalah daerah kemarau perdamaian. Singkatnya, bicara soal kekerasan atas nama perbedaan, Jawa Barat adalah juaranya.

Data The Wahid Institute misalnya, menyebutkan di Jawa Barat ada 57 kasus di 2010, naik jauh hingga 128 kasus di 2011, dan turun ke 102 kasus di 2012. Data lainnya, dari Center for Religious and Cross-Sultural Studies Universitas Gadjah Mada, sebut 53 persen kasus rumah ibadah nasional pada 2010 ada di Jawa Barat. Jauh melampaui daerah lain. Laporan Setara Institute mengonfirmasi posisi Jawa Barat ini.

Tersebutlah beberapa kasus menonjol di tatar Sunda. Sejak 2008 contohnya, izin mendirikan bangunan (IMB) GKI Yasmin Bogor dicabut pemerintah kotanya. Kasus sama diderita oleh Gereja HKBP di Bekasi pada Januari 2010. Tahun yang sama diisi juga oleh penyegelan Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Sumedang dan Gereja PIB Villa Galaksi di Bekasi.

Sasaran diskriminasi bukan hanya gereja, kalangan Ahmadiyah turut menerima perlakuan yang sama. Nyaris tepat dua tahun sebelum acara kemah tadi, tepatnya 3 Maret 2011, pembongkaran makam Ahmadiyah terjadi di Bandung. Jenazah dikeluarkan dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan oleh warga sekitar. Sebelumnya, warga telah protes rencana pemakaman warga Ahmadiyah yang menurut mereka sesat ini.

Insiden makam itu hanya satu dari sekian kasus Ahmadiyah di Jawa Barat. Sepanjang 2011 saja, ada tiga kasus berupa pendudukan masjid, perusakan rumah, dan pembakaran aset milik Ahmadiyah. Di November 2012, kegiatan donor darah PMI dihentikan Kesbangpol Kota Bandung. Alasannya, kegiatan ini bekerjasama dengan Ahmadiyah. Di Jawa Barat, banyak kelompok yang alergi, alias tak sudi, bersahabat dengan Ahmadiyah.

Kekerasan yang dibudayakan ini, bolehlah disebut demikian, mengambil start dari kebijakan pemerintah Jawa Barat. Selaku gubernur, Ahmad Heryawan telah mengeluarkan Peraturan Gubernur nomor 12 tahun 2011 tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Mungkin tak berhubungan dengan insiden makam, tapi uniknya peraturan ini diresmikan pada tanggal yang persis sama, 3 Maret 2011.

Menyusul pula peraturan kota Bekasi yang bernada serupa. Inilah yang kerap dijadikan alasan ormas garis keras melanggar hak sipil Ahmadi. Sedangkan negara sendiri sudah tutup telinga, terbukti dengan abstainnya aparat yang melindungi Ahmadiyah selaku korban.

Ricky adalah salah satu korban itu. Sejak lahir, sudah 24 tahun, dia menganut Ahmadiyah. Dia mengaku sudah kebal dengan cap sesat. Di acara Youth Interfaith Camp (YIC) ini, Ricky adalah satu-satunya Ahmadiyah di tengah dominasi Kristen, Katolik dan Islam arus utama. Namun di sini Ricky tak perlu sungkan mengakui identitasnya. Sebab semua peserta di kemah ini diterima sebagaimana dirinya.

YIC di Lembang ini tak hanya memberi keleluasaan bagi Ricky menjadi dirinya sendiri. Dalam lingkup lebih luas, kemah ini memberi peluang bagi panorama sosial tatar Sunda agar kembali elok. Kembali jadi rumah buat semuanya. Semua dimulai dengan dialog.

Satu dialog lepas terjadi di teras kamar peserta pada Jumat malam. Ada yang muslim arus utama, ditambah peserta Kristen yang bertanya pada Ricky soal Ahmadiyah. Meski pada akhirnya tak ada persetujuan soal teologi, itu tak jadi soal. Karena yang dicari bukan kebenaran, tapi saling pengertian. Akhirnya, semua merasa selesai dengan kesalahpahaman.

Baik melalui sesi sharing agama, seminar mau pun perbincangan personal, masing-masing peserta telah belajar. Tidak hanya untuk mengakui perbedaan, tapi juga menerimanya. Stereotip dan prasangka antar-agama dibongkar habis-habisan. Malahan stigma itu dipinjam jadi lelucon.

Isu radikalisme Islam, misalnya, bila di masyarakat begitu dikhawatirkan, di kemah ini justru jadi jenaka. “Kita akan hijrah, bilang bismillah!” ujar Azizah, seorang muslim, menirukan adegan di film Mata Tertutup. Di film karya Garin Nugroho itu, hijrah berarti meninggalkan Indonesia menuju Negara Islam Indonesia. Dalam film, gerakan ini digambarkan menculik orang dan merekrutnya.

Peserta kristiani bukannya tak paham isu, tapi mereka memilih tertawa. Risdo Simangunsong, seorang kristiani, membalasnya dengan ancaman kristenisasi. Giliran peserta muslim tertawa. Saling umbar stigma dalam kerangka canda itu berlanjut sengit dengan tawa yang makin kental, tanpa perlu saling kikuk lagi.

Saling canda ini awet sepanjang tiga hari. Mereka seolah tak peduli dengan berbagai data soal Jawa Barat di atas. Otomatis, data-data tadi tak berlaku di YIC ini. Perbedaan itu harus dirayakan, bukan diperkelahikan. Sebagaimana dibilang Indra Cahyadi, seorang buddhis, saat ditanya soal keragaman, “Pelangi takkan indah bila hanya satu warna.”

Hanya dialoglah cara merawat perbedaan, dan dialog bukanlah debat. Bila debat mencari pemenang, dialog punya jalannya sendiri. Dalam dialog, pesertanya menyediakan ruang untuk perbedaan pendapat, juga sepakat untuk tidak sama. Sebagaimana peserta muslim menolak trinitas, dan peserta kristiani menolak Muhammad. Semuanya sah-sah saja.

Jumat nyaris berganti Sabtu. Peserta melakukan pentas kecil di lapang hotel. Bertemankan api unggun dan bintang-bintang, mereka membawakan drama kecil, iklan, puisi, juga nyanyian. Shaddam, seorang kristiani, melakukan komedi tunggal soal sandal yang hilang di masjid. Tawa kembali mendominasi, sakit hati tak laku di sini.

Malam makin larut, peserta larut dalam kebersamaan. Saat panitia menutup rangkaian hari itu, belasan peserta bukannya beranjak tidur melainkan tetap duduk di lapang. Mereka bernyanyi bersama, pilih-pilih lagu, makan kacang rebus lalu tertawa. Semua bergulir hingga pukul dua dini hari.

“Mawar biar tetap mawar, melati biar tetap melati, tapi bagaimana kita menyusunnya supaya jadi taman yang indah,” ungkap Tika, seorang muslim. Di YIC, semua berbaur tanpa melebur, tak perlu ada yang berpindah agama. Bersama tidak perlu jadi sama.

Tak peduli Ahmadiyah, Buddha, Katolik, Protestan, Orthodoks atau Islam arus utama. Dini hari itu, kacang rebus, gitar serta udara Lembang telah merangkul semua perbedaan. Ikhtiar perdamaian itu tidak perlu neko-neko rupanya. Inilah kado kecil buat tatar Sunda supaya kembali sejuk. Seperti Lembang malam saat mereka bernyanyi bersama. ***
______________________________
* Masuk 10 besar lomba feature Pekan Komunikasi 2013, Universitas Indonesia
Foto milik Pdt. Obertina Johanis

Comments