Menolak Air Mata*
Oleh Rio Rahadian Tuasikal
Sebuah kasur kapuk terbawa arus Sungai Ciliwung, siang itu. Namun dua warga Kampung Melayu, Yayah (44) dan Ida (37), tak peduli. Mereka tetap mengobrol di jalan satu meter yang memisahkan rumah mereka dan Ciliwung. Kata Ida itu sudah sangat biasa, kasur pegas juga pernah ada. “Cuma kagak ade mobil sama motor aje,” ucap Yayah diiringi tawa keduanya.
Yayah dan Ida adalah dua dari sekitar 4.800 warga RW 02 di Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka adalah kakak beradik, asli Bogor, menetap di sini sejak Yayah SMP. Rumah mereka bersebelahan, berdamping juga dengan rumah ibu mertua Yayah. Mereka tinggal di RT 01 yang dipimpin oleh suami Yayah sendiri.
Kampung seluas 480 ribu meter persegi adalah pelanggan tetap banjir. Misalnya banjir 10 meter pada 2002 dan 2007, lalu 8 meter pada 2012. Terbaru, Kampung ini banjir 50-200 sentimeter Maret lalu.
“Udeh kagak ade serem-seremnye,” jelas Yayah saat ditanyai pandangannya soal banjir. Kata Yayah, banjir tak lagi mengganggu kehidupan warga. Mereka mengaku tak panik kala kabar banjir diumumkan. Bila banjir sepinggang, siswa tetap bersekolah. Bila setinggi dada, warga akan pindahkan barangnya ke lantai dua. Dia sendiri mengangkut barangnya ke lotengnya yang sempit. Mereka tinggal bersiap dan, ya, begitu saja.
Bila air sudah tinggi, Yayah memaksa kedua anaknya tetap sekolah dan bekerja. Bila tidak demikian, katanya, kedua anaknya akan bermain air hingga terkena sakit. “Mau yang tue, mau yang mude, semuanye pada demen berenang di depan pos dah,” ceritanya sambil tertawa.
Saat Yayah tertawa, seorang ibu lewat. Dia membawa alas kayu, wadah dan panci berisi nasi basi. Yayah dan Ida menyapanya singkat, sementara ibu itu membuang nasi langsung ke Ciliwung. Ikut mewarnai sungai yang sudah ramai oleh kayu, styrofoam juga bungkus mie instan. Menyusul Ida melempar plastik yang tadi berisi berondong jagung.
Lima bulan sebelumnya, Desember 2012, Gubernur Jakarta Jokowi mengimbau warga untuk tidak buang sampah ke Ciliwung. Sampah dikumpulkan di depan kampung, yakni Jalan Jatinegara Barat. Namun lambatnya pengangkutan sampah membuat warga menjadi malas. Selain itu, mereka masih melihat sampah datang dari hulu, sehingga mereka merasa program itu tak adil. Alhasil, Ciliwung kembali jadi tempat sampah
warga.
Hal itu dibenarkan Ketua RW setempat, Kamaludin (52). Di rumahnya, yang bekas banjir di dindingnya ditimpa cat ungu, Kamal kisahkan kesibukan terkait banjir. Setiap banjir datang, Kamaludin melayani warga di posko di Jalan Jatinegara. Saat pra-banjir, dia bertanggung jawab memberi informasi kedatangan air pada warga.
Sebuah papan data ketinggian air terpampang di aula. Hanya 10 meter dari rumahnya, berseberangan dengan masjid. Tercantum di situ data 3 lokasi, yakni Katulampa, Depok dan Manggarai. Data-data didapatnya dari para penjaga pintu air. “Kalau air di Katulampa 100 sentimeter, di sini banjir dua belas jam lagi,” jelasnya. Bila informasi sampai pada warga, mereka akan bersihkan rumahnya tanpa panik.
Di kampung ini, banjir datang dan pergi, nyaris sinonim dengan rutinitas. Usulan relokasi dan normalisasi Ciliwung pun telah disosialisasikan. Pemerintah berencana melebarkan sungai dari 20 meter jadi 50 meter. Bila program itu berjalan nanti, Yayah dan Ida harus pindah. Kamaludin sendiri tidak perlu karena rumahnya memang jauh dari sungai.
Pemerintah sudah bersiap membeli tanah warga. Namun warga enggan pergi atas berbagai sebab. Yayah, Ida dan Kamaludin juga lebih suka membicarakan keseruan saat banjir dari pada program itu. Padahal pamflet telah ditempel di pos warga, lengkap dengan rencana pelebaran sungainya.
Pamflet itu sekadar tempelan saja. Toh saat banjir tiba, sebelah depan pos adalah kolam renang publik, gratis. Mereka menganggapnya sebagai hiburan musiman. Tempat anak Yayah dan lainnya akan bermain air. Warga tak mau terjebak panik atau drama. Alih-alih ingin dipindahkan, mereka sukarela menerima air bah. Mereka menolak air mata. ***
_____________________
*Feature untuk 10 besar lomba artikel feature dalam Pekan Komunikasi 2013, Universitas Indonesia, dengan beberapa revisi.
Foto milik okezone.com
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran