Seporsi Jakarta
Teks dan foto oleh Rio R. Tuasikal
KICIR KICIR/ INI LAGUNYA//
LAGU LAMA/ YA TUAN/ DARI JAKARTA//
SAYA MENYANYI/ YA TUAN/ MEMANG SENGAJA//
UNTUK MENGHIBUR/ MENGHIBUR/ HATI NAN DUKA//
LAGU LAMA/ YA TUAN/ DARI JAKARTA//
SAYA MENYANYI/ YA TUAN/ MEMANG SENGAJA//
UNTUK MENGHIBUR/ MENGHIBUR/ HATI NAN DUKA//
Alunan ‘Kicir-Kicir’ terdengar di penjuru alun-alun Kota Tua, Jakarta. Di museum Seni Rupa, siang itu, sedang ada panggung musik. Siapa pun boleh datang dan duduk di kursi yang disediakan. Senandung ‘Sang Kodok’ dan ‘Jakarta Kebanjiran’ menambah nuansa Kota Tua Jakarta semakin nostalgik.
Semuanya mengiringi apa yang terjadi di alun-alun. Lima puluh meter di depannya, dua bule sedang sibuk membaca Lonely Planet. Sedangkan para anak SD memerhatikan boneka marionette, bergoyang diiringi lagu ‘Azza’ dari Rhoma Irama. Rombongan SD lainnya sudah berbaris di depan museum Fatahillah, sebelah selatan lapang, untuk masuk.
Di depan Fatahillah itu pula, empat figur sedang jadi primadona. Ada figur noni Belanda dengan gaun putih yang mukanya dicat putih pula. Ada figur guru yang berwarna emas, pejuang pribumi berwarna cokelat tua, dan tentara mainan berwarna hijau. Keempatnya sibuk berpose melayani pengunjung yang mau berfoto.
Di sudut lainnya, puluhan sepeda onthel menunggu disewa. Merah muda, hijau dan biru muda. Lengkap dengan topi yang berwarna senada. Beberapa sepeda sedang berkeliling lapang diselingi tawa pengemudinya. Di sebelahnya, fotografer sedang membidik sebuah pohon besar untuk diabadikan. Menggeser-geser lensa dan mengatur masuknya cahaya.
Di balik itu semua, seorang penjual minuman duduk di depan Fatahillah. Dia mengaku kecapaian menjual minumannya yang tersisa empat. Ada juga pemulung yang sedang meneliti setiap sudut lapang mencari botol. Seorang nenek tua berterimakasih pada pemuda yang baru memberinya uang. Tak lupa pengamen cilik yang langsung menyodorkan gelasnya kala saya bidik lewat kamera.
Bule yang sedang berpariwisata. Pengemis yang mengandalkan rasa iba. Sebuah paradoks di Kota Tua. Berbeda-beda namun tumpah ruah di tempat yang sama. Itulah Jakarta. Seperti gado-gado yang saya santap selama melihat semuanya. ***
Simak juga Membidik Kota Tua Jakarta
Semuanya mengiringi apa yang terjadi di alun-alun. Lima puluh meter di depannya, dua bule sedang sibuk membaca Lonely Planet. Sedangkan para anak SD memerhatikan boneka marionette, bergoyang diiringi lagu ‘Azza’ dari Rhoma Irama. Rombongan SD lainnya sudah berbaris di depan museum Fatahillah, sebelah selatan lapang, untuk masuk.
Di depan Fatahillah itu pula, empat figur sedang jadi primadona. Ada figur noni Belanda dengan gaun putih yang mukanya dicat putih pula. Ada figur guru yang berwarna emas, pejuang pribumi berwarna cokelat tua, dan tentara mainan berwarna hijau. Keempatnya sibuk berpose melayani pengunjung yang mau berfoto.
Di sudut lainnya, puluhan sepeda onthel menunggu disewa. Merah muda, hijau dan biru muda. Lengkap dengan topi yang berwarna senada. Beberapa sepeda sedang berkeliling lapang diselingi tawa pengemudinya. Di sebelahnya, fotografer sedang membidik sebuah pohon besar untuk diabadikan. Menggeser-geser lensa dan mengatur masuknya cahaya.
Di balik itu semua, seorang penjual minuman duduk di depan Fatahillah. Dia mengaku kecapaian menjual minumannya yang tersisa empat. Ada juga pemulung yang sedang meneliti setiap sudut lapang mencari botol. Seorang nenek tua berterimakasih pada pemuda yang baru memberinya uang. Tak lupa pengamen cilik yang langsung menyodorkan gelasnya kala saya bidik lewat kamera.
Bule yang sedang berpariwisata. Pengemis yang mengandalkan rasa iba. Sebuah paradoks di Kota Tua. Berbeda-beda namun tumpah ruah di tempat yang sama. Itulah Jakarta. Seperti gado-gado yang saya santap selama melihat semuanya. ***
Simak juga Membidik Kota Tua Jakarta
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran