Halo, Jurnalisme Keberagaman

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
*Dimuat di Selasar Gusdurian edisi 5

Masjid milik jemaat Ahmadiyah di Cisalada, Bogor. (foto: HRW)


“Pemkot Bekasi menyegel masjid Al Misbah milik jemaah aliran sesat Ahmadiyah di Pondok Gede, Bekasi, Jumat (5/4).” [1]

Itulah keterangan foto yang ditulis Republika di situs beritanya. Lengkap dengan istilah “sesat” persis sebelum “Ahmadiyah”. Disadari atau tidak, kalimat itu telah mengajak publik menolak Ahmadiyah. Di akar rumput, berita ini bakal memicu perpecahan, atau paling tidak, melanggengkan kebencian.

Berita timpang begini cuma satu dari ribuan bibit alergi beda. Kondisi ini dimulai selepas reformasi, yang ditandai dengan banyaknya media yang berafiliasi dengan satu agama. Dalam konteks Islam, ada nama Voice of Al Islam (voa-islam.com), Hidayatullah.com, majalah Sabili dan lainnya. Rasanya tak perlu saya ceritakan bagaimana mereka menghasut permusuhan, silakan kunjungi website mereka.

Dalam bahasa Johan Galtung, media di atas memakai teknik jurnalisme perang. Isinya hanyalah ajakan permusuhan dan perkelahian. Banyaknya audiens dan pembaca media semacam ini menjadi tantangan bagi kepelangian Indonesia. Maka, guna menyelamatkan kebhinnekaan, satu teknik peliputan baru dirumuskan: jurnalisme keberagaman.

Memberitakan S-A-R-A

SARA takkan lepas dari kehidupan, begitu pun peristiwanya. Tak heran bila berita menyangkut suku, agama, ras dan golongan akan selalu ada. Yang jadi soal adalah bagaimana para jurnalis menanganinya. Terlebih pada konflik dan ketegangan lintas-identitas. Salah-salah, jurnalis bisa menelurkan anti keberagaman, mengaminkan kekerasan, sekaligus menyalahkan korban.

Menulis berita adalah soal cara. Jurnalis menulis berita berdasarkan tiga aspek: diksi, angle dan framing. Diksi adalah pilihan kata; angle adalah bagian kejadian yang diberitakan; framing adalah kerangka pikirnya. Berita Republika di atas akan bernuansa berbeda bila ketiga aspek ini diubah.

Bila berita seorang jurnalis menyudutkan SARA, ini bisa terjadi karena keteledoran atau kesengajaan. Sisi keteledoran menjadi lazim akibat kurangnya pengetahuan jurnalis akan keberagaman. Ada pun soal kesengajaan, inilah yang dilakukan media intoleran.

Media-media yang menyuarakan kebencian, lewat standar jurnalistik saja, masih banyak kekurangannya. Prinsip “good journalism” seperti netral dan cover both sides sengaja diabaikan. Klarifikasi tidak mereka lakukan, opini banyak diselipkan. Mereka pun berperan ganda sebagai hakim keyakinan. Jenis media demikian, dalam definisi apapun, tak bisa dibenarkan.

Melirik Jurnalisme Keberagaman

Bila media bisa menambah konflik, dia bisa berlaku sebaliknya. Kini, pertarungan identitas di ranah publik tengah berlangsung sengit. Dalam kondisi begini, jurnalisme dasar tidak lagi memadai. Berita-berita yang sekadar netral, faktual dan berimbang saja tidak cukup. Perlu langkah lebih dari sekadar memberitakan, jurnalisme harus pula promosikan perdamaian.

Inilah yang membuat jurnalisme keberagaman jadi tepat waktu. Usman Kansong menulis, jurnalisme ini ditandai dengan beberapa karakteristik, yakni: berpihak pada keberagaman dan perbedaan; berpihak pada korban; berpihak pada minoritas; sensitif gender; menjunjung HAM; dan berperspektif jurnalisme damai.

Lewat jurnalisme keberagaman, jurnalis diharapkan menghargai perbedaan suku, agama, ras, gender dan orientasi seksual. Termasuk juga menolak diskriminasi, tidak menghakimi, serta melawan radikalisme, intoleransi dan eksklusivisme. Jurnalis tidak memberi banyak ruang terhadap permusuhan, sebaliknya lebih banyak memberitakan persaudaraan dan keharmonisan.

Seorang jurnalis diharapkan pula memakai sudut pandang korban. Seyogianya memberikan kesempatan pada korban untuk unjuk suara, jangan sekadar melayani ludah mayoritas. Seorang jurnalis keberagaman pun mengadopsi jurnalisme damai, artinya berpihak pada penyelesaian konflik. Tidak terjebak pada sensasi yang disukai masyarakat tapi sebetulnya meracuni. Akhirnya, jurnalis menulis beritanya dalam kerangka hukum dan HAM.

Pembahasan ini terangkum dalam buku “Jurnalisme Keberagaman” yang diluncurkan oleh Sejuk (Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman) di YLBHI, Jakarta, Mei lalu. Buku ini ditulis oleh 11 orang jurnalis dan pegiat keberagaman seperti Luthfi Assyaukanie, Budhi Kurniawan, Ahmad Junaidi dan lainnya. Buku setebal 272 halaman ini berisi pandangan dan panduan dalam meliput isu keberagaman.

Panduan Teknis : Lakukan dan Jangan

Secara umum, jurnalisme keberagaman menolak stigma, stereotip dan prasangka. Artinya tidak menempelkan kata sifat pada identitas tertentu. Misalnya ‘Tionghoa pemabuk’, ‘gay sadis’ atau ‘muslim teroris’. Hal ini karena pemabuk, sadis, teroris atau sifat apa pun terdapat pula pada identitas lainnya.

Istilah-istilah yang menyudutkan pun harus diganti. Istilah ‘aliran sesat’ untuk Ahmadiyah jadi ‘aliran berbeda’ atau ‘aliran minoritas’ atau ‘Ahmadiyah’ saja. Istilah ‘orientasi menyimpang’ atau ‘abnormal’ untuk LGBTIQ menjadi ‘orientasi seksual berbeda’. Di sini, jurnalis bertindak adil dan tidak menghakimi.

Jurnalisme keberagaman pun menghindari kalimat bertendensi. Alih-alih memakai ‘menggagahi’, ’melayani nafsu’, atau ‘merenggut kesucian’, jurnalis harus menyebut kasusnya ‘pemerkosaan’ atau ‘pencabulan’ saja. Jangan juga menyebut ‘wanita pencuri’ atau ‘perempuan pembunuh’ sebab kasus itu tidak ada hubungannya dengan kelamin mereka, sebut ‘pencuri’ saja.

Secara khusus, perempuan korban harus ditempatkan sebagai korban. Berita pemerkosaan, misalnya, harus fokus pada penegakkan hukumnya dan jangan terpeleset menyalahkan pakaian. Jangan pula menyebut ‘keluyuran malam-malam’ karena itu malah menyalahkan korban.

Dalam tindak kekerasan, perlu diperhatikan pula istilah ‘bentrok’ dan ‘penyerangan’. Kejadian di Cikeusik, misalnya, kerap ditulis sebagai bentrok. Padahal pemeluk Ahmadiyah saat itu sedang membela diri, bukan berkelahi. Kecermatan yang sama berlaku juga pada istilah ‘penutupan’, ‘penyegelan’ dan ‘penertiban’ terhadap rumah ibadah.

Di atas semuanya, jurnalis perlu mengawal proses hukum pelaku hingga tuntas, jangan sibuk pada kejadiannya semata. Dengan mengikuti kaidah-kaidah di atas, berita yang dihasilkan akan mendamaikan. Inilah namanya jurnalisme keberagaman.

Akan lebih hebat lagi bila jurnalis bersedia belajar soal kebiasaan suku, agama, dan orientasi seksual lain. Selain dari buku-buku, coba juga berinteraksi dengan orang yang dimaksud. Hal ini memungkinkan jurnalis tersebut merubuhkan stigma dan akhirnya terbiasa dengan perbedaan.

Pekerjaan Rumah Bersama

Indonesia perlu jurnalis yang hanya sebagai pewarta saja, tidak merangkap juru sesat-menyesatkan. Pemahaman soal keberagaman pun perlu ditanamkan kepada insan media. Hal ini bisa dilakukan lewat pelatihan dari pegiat keberagaman dan organisasi wartawan. Tidak perlu harapkan hasil instan, ini adalah investasi jangka panjang.

Di sisi lain, publik juga harus turut serta. Siapa pun berhak mengawal proses yang menantang ini. Saatnya publik vokal mengadukan berita yang bikin gerah. Laporkan media cetak pada Dewan Pers dan media elektronik pada KPI. Dengan begini, media yang mengajak berkelahi akan capek sendiri.

Pun, media keberagaman seperti Selasar ini patut kita lestarikan. Kita kepung pula media arus utama dengan artikel dan opini menyangkut perdamaian. Dengan demikian, setelah bertebaran dan vokal, kedamaian tak lagi sekadar impian.

Sekarang, mari bawa karpet merah untuk dibentangkan. Lalu bersama-sama kita teriakkan, “Halo, jurnalisme keberagaman”.***

______________



[1] “Warga Bekasi Tuntut Pembubaran Ahmadiyah” dalam www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/05/13/mmq5t0-warga-bekasi-tuntut-pembubaran-ahmadiyah diakses pada Minggu (26/5) pukul 17.05 WIB
 

Comments