Suara-Suara di Balik Asyura (2)

Bersambung dari bagian 1


Teks dan foto oleh Rio Tuasikal  

Sekolah Muthahhari, Kiaracondong - Selasa, 3 Desember

Rilis pers dari IJABI
“Dan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) sebagai ormas sudah diakui sejak lama, ya, Pak?” saya coba mengonfirmasi.

“Iya,” kata Hesthi singkat.

“Masak (IJABI) mesti ditulis kayak Nyonya Meneer, berdiri sejak?” celetuk Hardjoko.

Lalu kami tertawa.

“Di spanduk penolakan, adakah ormas-ormas yang sudah diketahui secara umum?” tanya saya. “Selain yang ditulis di berita seperti IHDI, KORDUS, UPAS, GARDA? Apakah panitia mencatat nama-nama ormasnya?”

Hesthi menjawab singkat, “Enggak, enggak mencatat.” Ia mengaku tidak mau berspekulasi mengenai siapa-siapa saja yang namanya tercantum di spanduk penolakan. Hesthi menganjurkan, “coba tanya ke pihak DKM (Dewan Keluarga Masjid) di sana.”

DKM yang ia maksud berjumlah 7 dan menamakan dirinya Forum Komunikasi DKM se-Kawaluyaan. FKDKM ini melayangkan surat penolakan kepada kepolisian Jumat (8/11). Hesti yakin itulah alasan kepolisian tidak keluarkan izin.

Hesthi mempertanyakan proses pengambilan keputusan di DKM-DKM tersebut. “Biasanya DKM itu bentuknya paguyuban. Nah harusnya ada musyawarah dulu. Ada berita acara yang menyebutkan betul mereka terganggu. Jangan hanya satu orang saja yang berteriak.”

Hesthi berkisah, dua hari sebelum acara, selepas Isya, dirinya diajak pemilik gedung Istana Kana untuk bersilaturahmi dengan pihak DKM yang menolak. Hesthi datang bersama dua koleganya dari IJABI. Pertemuan ini difasilitasi oleh kepolisian. Perwakilan DKM hadir memenuhi ruangan.

Di tengah dialog, cerita Hesthi, pemilik gedung bernama Daniel sempat minta penjelasan mengenai duduk perkara. Daniel mengaku tidak tahu apa-apa sebab dia menganut agama Kristen.

“Astagfirullah,” sebut beberapa hadirin.

Daniel diminta keluar dari masjid itu.

“Untung saya nggak disuruh ngepel (bekasnya),” ujar Hesthi terkekeh.

Dialog itu berlangsung singkat. Pihak DKM menyatakan keberatannya. “Masalah parkir, masalah keamanan,” ujar Hesthi mengenai alasan penolakan DKM.

“Waktu pertemuan itu, suasananya gimana, Pak?”

“Kalau ketemu pertama kali itu gimana? Kamu ketemu sama saya pertama kali ini gimana?” Hesthi balik bertanya.

“Mirip ini, suasana di kota santri lah,” celetuk Hardjoko tak mau ketinggalan. Kami tertawa kembali.

Mengenai komunikasi dengan masyarakat sekitar lokasi acara, Hesthi menilai itu adalah kewajiban pemilik gedung. Dia menuturkan bahwa gedung itu disiapkan untuk berbagai acara, jadi urusan izin warga setempat mestinya sudah selesai. Lagi pula, katanya, tak pernah ada masalah sejak Asyura dari tahun 2008.

Hesthi kembali menggarisbawahi mekanisme pengambilan keputusan di DKM-DKM itu. “Apakah ketua DKM punya fatwa yang harus diikuti, apakah solo career?”

Mencuatnya penolakan itu, menurut Hesthi, muncul dari kebencian yang sudah lebih dulu tertanam. Kebencian DKM-DKM itu terhadap kelompok tertentu telah ditujukan ke kelompok Hesthi.

“Di situ tuh yang mereka bilang tidak setuju peringatan Asyura oleh kelompok Syiah,” jelas Hesthi. “Saya bilang, saya ini IJABI, ormas resmi. Kalau Anda mau bicara Syiah kita diskusi baik-baik.”

Hesthi bernada tegas saat ia berkata, “Kalau Anda menolak Asyura dari kelompok Syiah, yang ini dari IJABI. Saya tidak mau disebut sebagai kelompok Syiah dalam versi mereka.”

“Kalau IJABI, pahamnya? tanya Azizah.

“Kami azasnya Pancasila. Visi misinya pencerahan umat dan perberdayaan,” jelas Hesthi. “Kami dalam melaksanakan visi misi bekerjasama dengan suluruh pihak yang mau melayani masyarakat.” Hesthi menjelaskan bahwa IJABI tidak pernah pandang agama dalam melakukan kegiatannya.

Sekali lagi dia menegaskan dirinya dari organisasi IJABI, bukan mewakili paham. “Kalau kita mengevaluasi sebuah paham, itu diskusi ilmiah,” tegasnya.

Hesthi bilang bahwa penolakan itu salah alamat. Dia menganalogikannya dengan contoh diri sendiri, “Saya orang Boyolali. Kalau Anda pernah ditipu sama orang Boyolali, ketika mendengar nama itu Anda jadi benci.”

“Generalisasi ya, Pak?” tanya Azizah.

“Kalau ada Syiah seperti yang mereka kenal itu ya mungkin ada. Kalau saya tidak (seperti itu),” tegasnya.

Bagi Hesthi, perbedaan pendapat itu merupakan hal lumrah. Perbedaan itu bisa hidup bersama-sama. Yang jadi masalah, kata Hesthi, “adalah kalau beda pendapatan.”(RIO)

Comments

  1. Yg ini ga dikomentarin di sini krn sudah tanggapan sdh dipos di fb. Hehe. ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran