#3 Verifikasi: Kuncinya Cuma Curiga




Sebuah koran di Bandung pada November 2013 mengutip perkataan saya, “Jangan sampai Bandung ada kekerasan lagi, jangan sampai ada intoleransi dan mampu dihayati bersama guna menjaga Bandung.” Namun saya tak merasa benar-benar mengatakan frasa terakhir. Tulisan di atas mengindikasikan penghayatan pada intoleransi. Padahal maksud saya justru menghayati “jangan sampai ada intoleransi”. Ini menimbulkan penafsiran ganda.

Adalah betul saya bicara seperti itu, namun jurnalis harusnya berusaha keras membuat kalimat yang mewakili maksud saya. Saya tak perlu kecewa bila editornya melakukan pemenggalan kalimat secara presisi. Pengalihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan membolehkan penambahan kata-kata dalam tanda kurung untuk menjelaskan konteks. Kecermatan yang seharusnya mereka pertimbangkan. 

Selain mendisiplinkan wartawan terhadap fakta, verifikasi ini perlu untuk hilangkan bias dan tendensi yang mungkin terselip di liputanya. Bias ini bisa berupa bias gender, suku, agama, politik dan lainnya. Verifikasi juga penting lantaran saksi yang diwawancarai biasanya adalah warga yang tak terlatih menceritakan kembali apa yang dia saksikan. Mudah sekali mereka melebihkan ceritanya, mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi.

Guna menghindari cacat-cacat ini, ada lima hal yang dianjurkan oleh Bill Kovach dalam Sembilan Elemen Jurnalisme: Jangan menambahkan fakta, jangan menipu, transparan, jangan ikut-ikutan wartawan lain, rendah hati. Feeling atau intuisi bukanlah fakta. Jika seorang wartawan betul-betul dapat feeling, ia tak boleh menyebutkannya kecuali ia mendapatkan buktinya. Juga tidak perlu sok tahu. Bila tidak tahu atau tidak dapat datanya, sebutkan apa adanya. Cek kebenaran hasil wawancara melalui observasi dan dokumen, dan sebaliknya. 

Verifikasi dilakukan secara cermat. Apakah sudah cek ulang setiap data yang tercantum di liputan baik itu nama, gelar, jabatan, tempat, alamat, waktu, cuaca, jumlah pelaku atau korban,  maksud dari istilah misalnya medis, kutipan yang dipotong, waktu apa dia mengeluarkan pernyataan itu? Editor perlu menggunakan rasa heran dan curiga terhadap liputan yang disetor reporter. Editor berhak bertanya “dari mana dan bagaimana data ini didapat?”

Satu ide verifikasi yang mudah adalah pensil warna Tom French. Selesai menulis liputan, Tom  akan membacanya lagi dan menandai setiap kata di beritanya. Ia menandai mana yang sudah, sedang atau belum diverifikasi. Bila data akhirnya tidak bisa diverifikasi, ia terpaksa membuangnya.

Akurasi, akurasi dan akurasi. Inilah disiplin yang membedakan jurnalisme dari propaganda, penulisan fiksi atau si sepupu infotainment. Propaganda membolehkan manipulasi atau pelintir fakta demi kepentingan tertentu. Fiksi menyajikan kesan personal atas yang disebut realitas. Infotainment fokus pada hal-hal sensasional dan kehidupan pribadi. Jurnalisme tidak. Jurnalisme adalah disiplin untuk menyajikan “versi terbaik dari kebenaran”, sebaik dan seburuk apa pun kebenaran itu. Curigalah! []

Comments