Antrean Panjang & Ego Menjulang


Untuk para penyerobot antrean

 

"Keluar kamu! Kamu nggak antre!"

Selasa petang di halte Transjakarta Dukuh Atas, seorang lelaki memanen hujatan warga lainnya karena enggan mengantre. 

Lelaki itu bersikukuh di tengah antrean meski dua petugas sudah memintanya pergi ke belakang. Ketika bus tiba dan antrean kami berkurang, sekitar lima orang meneriakinya lantang. 

Setelah disuraki panjang, well, pada akhirnya dia harus mengantre dari ujung juga–plus rasa malu yang membebani pundaknya.

Peristiwa itu tidak mengejutkan buat saya–dan mungkin kebanyakan warga Indonesia. Kita bisa melihatnya di hampir semua halte Transjakarta, saat jam sibuk pagi dan sore. Akan ada monyet-monyet tengil yang belagak perlu diistimewakan. Mereka membuat antrean sekunder, atau antrean imajiner. Lebih parah: mengantre di pintu keluar. Dan lucunya, petugas tidak memarahi mereka!

Kasus lain. Saya masih ingat 2012 lalu ketika menegur perempuan yang menyerobot antrean di minimarket di Bandung. Dia langsung menaruh belanjaannya di meja kasir meski ada ibu tua dan saya sudah duluan membuat antrean. Perempuan itu tidak terima dengan teguran saya, memanggil suaminya–yang kekar–yang kemudian menghadiahi saya bogem setengah matang. 

Bibir saya yang robek menjadikan saya kesal dua kali lipat. Oh, saya kesal tiga kali lipat pada penjaga minimarket yang hanya diam. Seandainya ada orang yang membantu saya meneriakkinya.

Buat saya, antrean–di halte, minimarket, pom bensin, atau pembagian sembako–bukan sekadar menunggu, melainkan mencerminkan sikap kita sebagai warga negara, soal modus vivendi atau hidup bersama. Antre mengajarkan kita soal keadilan, kesempatan yang sama, tanpa ada yang diistimewakan. Ini definisi warga dalam sebuah negara demokrasi, percayalah. 

Jangan lupa, akan selalu ada para pencari jalan pintas yang picik, tak tahu diri, dan supermenyebalkan. Di sinilah tugas penegak hukum menjaga keadilan dan menjelaskan peraturan. Menyusul tugas kita sebagai warga untuk mencubit petugas yang lembek, nepotis, atau malu-malu.

Di daerah kota yang mengklaim dirinya sebagai pusat peradaban, ternyata kemanusiaan kita sudah digadaikan. Kadang kita tidak peduli dengan siapa yang kita sikut ketika naik bus. Lalu kita tidak peduli dengan orang yang menyikut dan disikut selama itu tidak menimpa kita langsung. Adakah ego kita linear dengan gedung pencakar langit yang menjulang, oh, semakin tinggi?

Ruang urban adalah titik terbaik memperjuangkan keadilan dari hal terkecil. Sebab di sinilah identias kita sebagai warga kota, sekaligus manusia, diuji secara telanjang.***

Comments