Utan Kayu, 365 Hari Lalu




Untuk redaksi Kantor Berita Radio 68H


Utan Kayu, 365 hari lalu, saya memakai kemeja biru tua dan celana jeans hitam, berdiri kaku memperkenalkan diri di ruang redaksi. Itu hari pertama saya bekerja sebagai jurnalis di KBR68H–yang kini mengubah namanya jadi KBR. Perkenalan itu berlangsung hangat, memulai deretan hari-hari yang hebat.

Dua hal pertama yang saya pelajari adalah bahwa jurnalis tidak seperti yang saya bayangkan selama ini. Juga, jurnalisme tidaklah persis seperti yang ditulis buku-buku.

Ini yang terpenting: jurnalis ternyata tidak sekucel itu. Silakan tertawa. Tapi ini penting buat saya karena saya sering menghadapi cap miring ketika kuliah jurnalisme. Masih banyak kok jurnalis yang rapih, klimis, centil, dan wangi. Beberapa perempuan jurnalis–tanpa bermaksud seksis–sering menghabiskan waktu bercermin dan membetulkan riasan wajah di sela-sela konferensi pers. Mereka merepotkan penampilan, dan itu banyak, terutama jurnalis televisi yang kita tahu dengan jelas kenapa. 

Ngomong-ngomong saya jurnalis radio. Yah, pada akhirnya saya harus jujur saya pernah (mungkin mendekati sepuluh kali?) melewatkan mandi karena mengejar liputan yang mepet waktunya.

Hal selanjutnya adalah ternyata jurnalis tidak sepintar itu. Beberapa kali saya bertemu jurnalis yang bertanya hanya "bagaimana menurut bapak?" kepada narasumber setelah konferensi pers 30 menit. Bukankah itu aneh jika dia bahkan tidak memberikan sedikit pun konteks ke dalam pertanyaannya? 

Tapi beberapa jurnalis saya tahu mendedikasikan dirinya untuk isu-isu tertentu. Mereka mendalami masalahnya sampai ke akar, dan selalu mengantongi sebungkus pertanyaan pamungkas untuk dilemparkan ke narasumber–itu patut diacungi jempol.

Menjadi jurnalis adalah sesederhana belajar–di mana narasumber adalah guru, dengan mata pelajaran bermacam-macam, dan seluruh kota menjadi ruang kelasnya. Tidak lupa: kawan satu media atau media lain yang asyik dan menggembirakan seperti teman bermain.

Saya lelaki beruntung bisa bergabung di KBR 68H. Di sini, saya belajar banyak untuk isu-isu yang selama ini sudah saya minati: agama, gender, dan hak asasi manusia. Jadi semacam anak tangga kedua setelah apa yang saya lakukan sebelumnya. Tentu saya juga mengenal isu politik, korupsi, dan lingkungan–lalu ketika keluarga atau teman bertanya soal isu tertentu dan kita bisa menjelaskan detail, sungguh, tak ada rasa riang gembira yang lebih dari itu. 

KBR 68H mengajarkan saya untuk bebas. Saya bebas memilih sudut pandang berita, yang secara menyenangkan otak saya sudah satu doktrin dengan ruang redaksi. Paling penting di atas itu semua: struktur egaliter dan budaya kerja yang menawarkan persahabatan. Sangat sedikit hari di mana saya merasa bekerja, selebihnya saya merasa bermain.

Ini sudah (atau baru?) setahun. Masih ada ribuan pengalaman yang ditawarkan, dan saya siap menelusuri belantaranya.

Terimakasih banyak. Senang mengenal kalian semua.***

Comments