Kekejaman dengan Bungkus Merah Putih


Untuk Bambang di Solo


Salah satu anggota keluarga saya sedang terjerat narkoba untuk kedua kalinya, ketika pengedar narkoba asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran bersiap menghadapi eksekusi mati di Indonesia.

Jika ditanya apakah keduanya harus dihukum, saya adalah orang yang selalu setuju. Sebab saya sudah merasakan sendiri bagaimana zat adiktif itu mengguncang hubungan sosial dan ekonomi keluarga kami---dua kali! Tapi, jika pertanyaannya haruskah pengedar narkoba dihukum mati? Saya menjawab tidak.

Sebab sampai sekarang tidak ada penelitian ilmiah yang membuktikan hukuman mati bisa memutus rantai narkoba. Malahan, dengan dibunuhnya pengedar kelas teri, informasi mengenai jaringan narkoba di atasnya akan hilang. Maka mafia-mafia kelas kakap akan terus mengeruk keuntungan sambil menari-nari. 

Itulah kenapa hati saya terluka ketika melihat Bambang, warga Solo, Jawa Tengah, mengirimkan dua peti mati ke kedutaan Australia di Jakarta, pekan lalu. Dua peti itu dia bungkus dengan bendera Australia, lengkap dengan foto kedua terpidana mati di masing-masing peti. 

Aksi ini dia lakukan sebagai dukungan terhadap rencana pemerintah Indonesia mengeksekusi dia pengedar narkoba asal negeri kangguru. “Kedaulatan di negara ini harus ditegakkan,” ucapnya angkuh.

Perasaan saya makin tercerai berai ketika melihat puluhan siswa SD, Februari lalu, yang mengikuti “Koin untuk Australia”. Mereka mengumpulkan uang sebagai bentuk protes terhadap pernyataan PM Abott yang mengungkit bantuan Australia saat Aceh dilanda tsunami 2004 silam.  

Meski saya juga tidak suka pernyataan Abott yang memperdagangkan misi kemanusiaan, tapi kelakuan anak itu lebih memilukan! Tahu apa mereka soal narkoba, hukuman mati, dan hubungan diplomatik kedua negara?

Kemudian media massa Indonesia bersikap tidak adil. Metrotvnews.com menulis Australia mengintervensi pelaksanaan hukuman mati. Tapi, bukankah pemerintah Indonesia juga akan memberi pembelaan yang sama kepada warga negaranya yang terancam hukuman mati di Hongkong dan Saudi Arabia? Kenapa kita menyebut pemerintah Indonesia menolong sedangkan pemerintah Australia ikut campur?

Nasionalisme macam apa ini? Kenapa kita bangga merah putih tapi menginjak martabat manusia di saat yang sama? Saya setuju bahwa hukum di Indonesia harus berdaulat, tanpa intervensi Australia atau negara mana pun. Tapi kok, hukuman kita itu barbar dan dangkal ya? Dari 198 negara di dunia, kenapa bangsa Indonesia ini masih menjalankan hukuman mati---bersama 34 negara lainnya?

Jangan lupa: eksekusi mati muncul saat pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak populer. Dan ini patut kita curigai. Ingat, enam nama pertama muncul Januari lalu setelah Polycarpus, si pembunuh aktivis HAM Munir, bebas bersyarat. Lalu sekarang muncul nama-nama jilid dua ketika pemerintah memilih Budi Gunawan, pejabat kepolisian yang diduga korup, sebagai calon tunggal Kapolri. 

Masih ada sisa 48 terpidana mati narkoba yang bisa dicicil kapan pun pemerintah butuh tameng. Sementara rakyat terus berteriak mendukung pemerintahnya yang kejam dan menanggalkan rasa kemanusiaan.***


Comments