Kopi Rasa Emosi
Untuk nenek tua penjual kopi
Sudirman Central
Business District, Jumat malam pekan lalu.
Saya baru selesai santap malam seharga 40 ribu Rupiah di
Chicken Story, masih memegang jus stroberi, ketika akhirnya melewati seorang
nenek yang duduk di trotoar.
Ditemani termos dan koper tua berisi sachet minuman serta bungkus rokok, nenek itu melihat saya.
“Kopi, De?” tanyanya, yang langsung membuat leher saya lemas
sehingga akhirnya mengangguk.
“Yang Tora Bika ya, Bu.”
“Empat ribu Rupiah,” ujarnya sambil menaburkan choco granule.
Ketika saya pergi sambil menggenggam kopi buatan si nenek, mata
saya becek. Saya tidak tahu emosi apakah itu.
Ketika saya mengambil tegukan pertama kopi tersebut, ingatan
saya ditarik ke beberapa waktu sebelumnya.
Siang di hari yang sama, saya baru saja melipir ke Starbucks di US Embassy bersama sejumlah teman. Vanilla latte 40 ribu Rupiah. Juga, selama sebulan belakangan ini, saya kerap menyambangi Seven Eleven dan Family Mart di kawasan Blok M, Jakarta. Famima chicken dan yaki satsuumage total dua puluh ribu Rupiah, atau chicken katsu dua puluh enam ribu Rupiah. Ya, saya tidak hanya makan nasi, saya juga membeli gengsi!
Siang di hari yang sama, saya baru saja melipir ke Starbucks di US Embassy bersama sejumlah teman. Vanilla latte 40 ribu Rupiah. Juga, selama sebulan belakangan ini, saya kerap menyambangi Seven Eleven dan Family Mart di kawasan Blok M, Jakarta. Famima chicken dan yaki satsuumage total dua puluh ribu Rupiah, atau chicken katsu dua puluh enam ribu Rupiah. Ya, saya tidak hanya makan nasi, saya juga membeli gengsi!
Setiap kita bisa memesan itu dengan rasa bangga, lalu
mengambil gambarnya untuk di-upload ke media sosial dengan perasaan angkuh
tiada tara. Kemudian kita menunggu berapa like,
reply atau love yang kita dapat untuk memenangkan ego kita. Tapi malam itu saya
membenci semuanya.
Malam itu saya lebih senang dengan kopi sederhana, yang jadi
pengingat manis soal kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan dunia.
Kopi itu dihantar dengan senyum nenek tua, yang bagaimana
pun terasa 3 derajat lebih manis ketimbang senyum pelayan Starbucks mana pun yang
pernah saya temui. Ada perasaan tulus yang saya rasakan dari senyum nenek---mungkin karena si nenek
merasa tertolong.
Perasaan itu ditukar dengan perasaan lega di dada saya. Ikatan emosi yang terjalin itu membuat kopi ini jadi yang terlezat se-kawasan SCBD, mengalahkan produk kedai kopi mana pun di Pacific Place!
Perasaan itu ditukar dengan perasaan lega di dada saya. Ikatan emosi yang terjalin itu membuat kopi ini jadi yang terlezat se-kawasan SCBD, mengalahkan produk kedai kopi mana pun di Pacific Place!
Kopi rasa emosi seperti ini dijual di mana ya? Apakah ada di Chicken Story,
atau di 53.000 gerai Seven Eleven di seluruh dunia? Tidak.***
40 itu, harga minumannya 4 ribu, sisanya ya harga gengsi itu, biaya izin foto dan upload, dan status sosial... hahaha... Refleksi yang bagus.
ReplyDeleteThank you Ria. Ya kira-kira begitulah. Coba bayangkan kalau tidak ada rasa gengsi, bukankah semua orang bisa makan dan itu cukup?
DeleteKopi rasa Emosi vs Kopi rasa Gengsi.
ReplyDelete