Bagaimana Kompas TV Keliru Meliput Razia Warteg*



*Dimuat di situs Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)

Video liputan ini di linimasa Facebook, hingga Sabtu (11/6/2016) malam, sudah ditonton 2,3 juta kali dan panen kecaman. Dalam video itu nampak petugas Satpol PP Serang, Banten, merazia sebuah warung nasi yang buka di siang hari. Terlihat ibu pemilik warung memohon kepada petugas untuk tidak menyita makanannya – meski pada akhirnya petugas mengabaikannya dan ibu itu meninggalkan warung sambil menangis.

Video 1 menit 42 detik itu mungkin hanya selintas, namun ia menunjukkan gambaran besar mengenai perspektif keliru yang digunakan jurnalis tersebut. Saya mencatat beberapa kalimat dalam naskah yang mencerminkan cara pandangnya.

“Warung ini diketahui nekat melayani konsumen pada siang hari saat bulan suci Ramadhan."

“Demi terwujudnya toleransi dan saling menghormati antar umat beragama, semua warung makan dilarang beroperasi saat siang hari.”

Teks di CG bawah layar: “Imbauan bersama demi toleransi saat Ramadhan”

Kalimat-kalimat di atas menggambarkan poin-poin yang penting diperhatikan. Pertama, jurnalis itu (yang mungkin juga seorang muslim yang sedang berpuasa) gagal melepas jaket agamanya ketika meliput, menulis, atau mengedit, sehingga hasil liputannya sangat bias. Liputan ini bisa digunakan kelompok intoleran untuk membenarkan aksi main hakim sendiri: razia warung makan.

Kedua, jurnalis gagal kritis terhadap penguasa dan akhirnya menulis berita yang birokrat-sentris. Hal ini terlihat dari kalimat “imbauan” yang ditulis mentah-mentah. Akibatnya, berita itu hanya jadi amplifier bagi kehendak penguasa. Toleransi dan menghormati itu seharusnya alami, tidak dipaksakan.

Ketiga, berita ini menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman jurnalis tentang posisi negara terhadap agama – yang seharusnya terpisah dan saling menyeimbangkan. Negara tidak boleh ikut campur dalam perdebatan tafsir agama di kalangan masyarakat, dan media harus menjadi wasit yang menjaga proses itu. Namun liputan ini malah seolah membenarkan aksi agama yang menunggangi negara dan sebaliknya.

Perspektif pemberitaan di atas, baik disengaja atau karena keteledoran, bersifat kontraproduktif bagi pengembangan demokrasi di negara yang masyarakatnya relijius. Hal ini juga menunjukkan kegagalan jurnalis menjalankan fungsinya sebagai watchdog dalam negara hukum.

Kekeliruan ini bisa saja dilakukan oleh reporter di lapangan, maupun editor atau produser. Terbebas dari siapapun yang membentuk naskah itu, berita ini tetap tidak kontributif. Ini adalah pengingat penting bagi media – tak hanya Kompas TV namun juga media-media lain – agar lebih arif dalam meliput isu agama.

Penulis adalah jurnalis Kantor Berita Radio (KBR)

Comments