Banyak Orang Mengira Saya Merayakan Natal

Sumber

Sebetulnya tidak apa-apa juga orang-orang mengucapkan selamat Natal kepada saya, meski saya tidak merayakannya. Saya tidak tersinggung atau apa. Hanya saja ini terjadi setiap tahun dan menarik untuk diceritakan.

Natal tahun ini, ada sejumlah teman yang mengucapkan lewat Facebook dan Whatsapp. Lalu di kantor VOA, seorang kolega memberi saya ucapan Natal. Saya terima dengan senyum, "Terimakasih, pak, tapi saya tidak merayakan Natal." Lalu dia mengernyitkan dahi dan bertanya apakah saya seorang muslim.

Ini terjadi sepanjang sejarah hidup saya. Sejak kecil. Orang seringkali menduga, mengira, menebak-nebak saya sebagai pemeluk Kristen dan saya merayakan Natal. Saya sebetulnya tidak pernah menyadari betapa banyak orang yang berpikiran demikian sampai terjadi peristiwa berikut.

Dalam suatu kemah lintas-iman di Bandung, teman saya Risdo Simangunsong, bertanya "kamu pernah di persekutuan mana?" Lalu saya melongok. "Hah?" Karena pada saat itu saya belum mengerti bahwa persekutuan adalah komunitas atau kegiatan yang diikuti umat Kristen untuk memperdalam agama. Usai hening dua detik Risdo kembali dengan pertanyaan baru: "kamu muslim?"

Saat kuliah di Bandung, banyak teman saya mengajak saya ke gereja. "Kamu gereja di mana?" Kadang saya jelaskan dengan pelan bahwa saya terlahir muslim. Kadang saya balas dengan senyuman paling manis karena takut menyinggung.

Lucunya, tidak pernah sekali pun dalam 4 tahun kuliah saya ada yang mengajak saya sholat Jumat atau ke masjid. Atau dalam kesempatan lain, teman saya bengong setelah melihat saya sholat. "Aku kira kamu bukan Islam," katanya. Hahaha...

Mungkin orang menebak dari wajah dan nama saya - dan orang mengandalkan stereotip untuk mengambil kesimpulan. Memang sekilas wajah saya terlihat dari Indonesia Timur begitu pun nama "Rio" dan "Tuasikal". Wajah saya adalah harmonisasi antara ibu (Sunda Tasikmalaya-Sumedang) dan ayah (Sunda-Ambon). Sementara nama "Tuasikal" sendiri adalah fam Ambon dari garis keturunan kakek yang sebetulnya adalah marga muslim.

Cara orang untuk bertanya mengenai agama saya juga lucu. Kadang orang memakai perumpamaan. "Rio, kamu ke masjid atau ke gereja?" ucap saudara ibu kos saya satu hari. "Kamu Natal atau Lebaran?" tanya editor saya satu kali ketika dia memikirkan apakah saya diberi libur lebaran atau libur Natal. (Iya, jurnalis tetap bekerja di hari raya).

Sebetulnya saya sudah tahu maksud pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi saya suka kesal jika orang enggan bertanya langsung. Seolah agama itu tabu benar, terlarang, atau hal yang patut disembunyikan. Padahal, jika kita enggan membicarakan agama secara terbuka, di situlah bibit-bibit kesalahpahaman tumbuh.

Saya lebih hormat dengan orang yang bertanya, "kamu agama apa?" tanpa embel-embel lain atau meminta maaf terlebih dahulu. Misalnya saja teman saya di Washington DC, Susan Que asal Tiongkok. "What's your religion?" tanya dia di dalam mobil Uber. "I was born muslim," jawab saya langsung. Ternyata dia menanyakan agama karena ingin memberikan saya siomay buatannya yang memakai daging babi, dan memastikan apakah saya makan babi. Ini kocak juga sih.

Saya gembira ketika orang menebak-nebak. Kalau mereka bertanya soal agama atau nama saya, saya akan dengan senang hati menjelaskannya. Dan kendati saya tidak merayakan Natal, saya ingin mengucapkan selamat Natal buat kawan kristiani yang merayakan. Damai di hati damai di bumi. []

Comments

  1. Senasib kita, Yo. Dulu waktu blm pakai jilbab, kalau blm atau baru kenal, aku srng dikira bukan muslim juga. Ditanyanya juga gitu2 😅

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran