Gol-Gol di Bawah Aspal

Kiri ke kanan : Idpha, Radit dan Yudi, warga Pulosari, Bandung, bermain bola di sarana sepakbola Sekolah Sepakbola Bandung Wetan, Senin (30/9) siang.

“Goool!” pekik Yudi (13), pukul 1 siang itu. Restu (12) si kiper hanya bisa tertawa lantaran gagal menangkap bola. Restu lalu mengambil bola dari balik gawang, melemparnya ke empat temannya sambil terus terbahak. Begitu mendapat bola, kini Yudi mengoper pada Idpha (10), Idpha menendang, dan lagi, “Goooool!”

Bukan di lapangan futsal berbayar, mereka bermain di satu sarana sepakbola kawasan Balubur, Bandung. Nama resminya adalah Sarana Sepakbola Sekolah Sepakbola Bandung Wetan. Lapangan itu ada di kolong jalan layang Pasupati, lima menit jalan kaki dari gedung Rektorat Institut Teknologi Bandung ke arah barat. Lokasinya kurang lebih di bawah tiang pemancang utama jalan layang Pasupati.

Lapang ini beralaskan matras hitam dan dikelilingi oleh tripleks tebal berisi logo para sponsor. Di tripleks itu, tercantum nama BUMN, komunitas Bandung Creative City Forum, Badan Narkotika Nasional, Rumah Cemara dan lainnya. Sebuah kalimat begitu menonjol di antara logo-logo itu : Keadilan sosial bersepakbola bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bendera merah putih ditegakkan di samping lapang, menjulang tinggi melebihi jaring-jaring pelindung yang menaungi lapang ini. Di lapang seluas 20 kali 12 meter inilah, Yudi dan teman-temannya biasa bermain bola. Nyaris setiap siang, sepulang sekolah, mereka sempatkan adu tangkas di sini. Mereka biasa datang pukul 1, sebab sebelumnya adalah jatah anak-anak dari kampung sebelah. Siang itu pun mereka hanya memakai setengah lapang karena ada warga lain yang memakai setengah lainnya.

Ah, licong!” (Ah, licik) teriak Restu pada Yudi. Kali itu Yudi membiarkan pemain termuda, Radit (6), untuk melakukan tendangan pinalti. Padahal yang hand adalah Radit sendiri. Namun alasan usia membuatnya diperlakukan istimewa.

Kalem, aing wasitna.” (Tenang, aku wasitnya) kata Yudi menenangkan. “Da moal asup atuh,” (Toh tidak akan masuk) tambah Yudi seraya menggantikan posisi Restu sebagai kiper. Tendangan Radit dihalau mudah oleh Yudi. Saat bola dilempar ke tengah lapang, kelimanya langsung berlarian saling rebut bola lagi.

Dari gol ke gol, sudah setengah jam mereka bermain. Sesekali bola keluar lapang sehingga Radit, yang paling kecil badannya, harus bolak balik memanjat tripleks untuk mengambil bola. Mereka tak pernah beristirahat meski sebentar. Saya sampai sulit dapat kesempatan wawancara.

Tak lama, salah satu di antara mereka beristirahat juga, ia duduk di pinggir lapang. “Hai, siapa namanya?” tanya saya padanya yang berbaju olahraga warna kuning itu.

“Enggak tahu,” katanya. Saya bertanya ulang dan mendapat jawaban yang sama.

“Kamu ikut sekolah sepakbolanya?”

“Oh,” katanya ragu, lalu berteriak, “Yudi!”

Yudi menoleh, menghentikan kocekan bolanya, dan langsung mendekati saya. Idpha, Restu dan Radit mengikuti di belakangnya. Saya menanyakan nama dan umur mereka semua, lalu beberapa hal soal lapang ini. Yang berbaju kuning ini, setelah melihat temannya menyebut nama, akhirnya ia berani juga. “Rayhan,” katanya.

Hanya sedikit yang bisa ditanyakan. Sebab mereka nampak sedang tak ingin diganggu. “Main lagi ya, Aa,” ujar Yudi buru-buru. Lalu dia melempar bola yang langsung diburu empat temannya. Sementara Yudi bermain lagi, besi rangka jalan layang terus berbunyi dengan durasi yang nyaris tetap. Suara itu menandakan mobil-mobil ramai lalu lalang di Pasupati. Mobil-mobil itu tak tahu bahwa, di bawah aspal yang mereka lewati, ada gol-gol yang sedang terjadi.***RIO

Comments