Sumpah, Serapah, Cukup Sudah!
Minggu (27/10) sore saya nonton berita di
televisi. Ada lomba menghapal teks Sumpah Pemuda di sebuah desa di Bandung. Hanya
tiga peserta yang hapal tanpa keliru satu kata pun. Peserta lain gagal ingat. Ibu
saya sendiri, bila tak menonton televisi, akan lupa esoknya hari besar apa. Dan
kita was-was sebab ini mengecewakan buat kebhinnekaan Indonesia.
Namun poin yang lebih berbahaya sebenarnya bukanlah
itu. Bukan sekadar soal pelajar SD, remaja atau oma opa yang belepotan merapal
Sumpah. Ada yang lebih urgent kita
perbincangkan : "serapah"--yang harusnya sudah selesai di Ambon dan
Poso. Namun ia kontinu. Bahwa narasi-narasi bertenaga benci, caci maki, masih bertebaran
di sana sini.
Bukalah browser
hari ini, Anda takkan kesulitan mendapat ajakan permusuhan--yang
seringnya membawa suku dan agama. Seperti, ehem, kasus lurah Jasmine? Lihatlah
beberapa situs yang kerapkali menuduh dan tanpa klarifikasi itu. Tengok pula ancamannya
terhadap yang beda iman. Bukankah ini yang jauh lebih berbahaya buat kepelangian
negara kita?
Jika berteman dengan yang beda iman saja
masih enggan, jika melihat perbedaan saja masih sungkan, lalu untuk apa hari
ini Sumpah Pemuda kita bacakan?
Barangkali kita lupa, bahwa Indonesia ini ada
ya memang karena kita berbeda. “Indonesia bukanlah suku, tapi semua suku,” kata
puteri Gus Dur, Alissa Wahid. Nama Indonesia
adalah kesepakatan pemuda Aceh-Papua, yang pada 1928 sepakat jadi satu saudara.
Lewat Sumpah Pemuda, Indonesia menaungi 546 bahasa daerah, 1.340 suku, 17.504 pulau.
Indonesia adalah buah kerjasama seluruh suku dan agama, maka otomatis ia jadi
milik bersama.
Lebih dari sekadar potensi pariwisata,
kekayaan kultur Indonesia adalah sarana saling belajar yang luar biasa.
Sebutlah dialektika. Apa pun namanya. Inilah kesempatan untuk saling melengkapi
dan melejitkan potensi. Kondisi ini hanya bisa dicapai bila kita selesai dengan
kecurigaan, berhenti bermusuhan. Hanya tercapai ketika serapah kembali ditutup oleh sumpah.
Langkah menuju Sumpah Pemuda itu terjadi di depan
rumah saya, tepat 28 Oktober. “Cindy, gak
ke gereja?” tanya ibu saya pada tetangga. Cindy cerita bahwa ayahnya sedang sakit
cikungunya. Ibu saya pun mendoakannya. Maka saya berpikir, biarlah bila ibu
saya tak tahu ini Hari Sumpah Pemuda, yang penting ia menghayati semangatnya.
Saya bersyukur, rupanya semangat persatuan
itu ada di hati setiap kita. Karena memang nenek moyang kita sendiri yang
melakukan sumpahnya. Dan persaudaraan beda iman itu rasanya diwariskan juga
pada generasi kita. Inilah spirit yang perlu kita jaga. Sebab ia bisa
mengakhiri rapor merah keberagaman Indonesia : GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Ahmadiyah
Lombok, Syiah Sampang, lurah Jasm ... cukup sudah!*
Gambar milik www.pustakasekolah.com
Salut dengan semangat anda untuk bersatu dalam keberagaman, ...dan memang betul, banyak disana sini ditabur kebencian dengan isu sektarian maupun beda agama. mereka nampaknya mau menyeragamkan melalui pemaksaan. namun saya melihat sulit berhasil. paling-paling akhirnya menciptakan kerusuhan. tetapi semoga saja tidak. optimis..
ReplyDeleteOrang seperti Anda dan saya tetap percaya bahwa perdamaian itu ada. Dan sebaiknya, kita lebih menggembar-gemborkan persahabatan :)
Delete