Membenci Penebar Benci aka FPI?
"Kalau perlu dengan FPI juga kerja sama untuk hal-hal
tertentu. Iya kan? Kerja sama untuk hal hal yang baik,” kata Gamawan Fauzi,
Kamis (24/10) lalu. Polemik dan bla bla bla langsung muncul di sana-sini. Di page Anda
Bertanya Habib Rizieq Menjawab, tautan pada berita ini direspon 253 komentar
dan 313 jempol. Mayoritas menolak.
Penolakan masif dari publik bisa dipahami. Aksi-aksi kekerasan
memang sering berhubungan dengan FPI ini. Ingat bentrok FPI dengan warga Kendal,
lalu lurah Susan? Publik sudah hapal bahwa kelompok ini adalah penyebar
kebencian juga pelaku kekerasan yang andal. Dan ketika Gamawan ingin buka ruang
dialog dengan mereka, saya pikir: “kenapa tidak?”
Tapi harapan itu luluh berkenaan dengan sarkas yang dihujankan
pada Gamawan. Di wall saya, dua teman
saya bilang kerjasama atau dialog dengan FPI bakal percuma. Mereka memakai peristiwa
siram oleh Munarman sebagai alasan. Dan saya tidak perlu bertanya lagi kepada
mereka kenapa tidak setuju.
Di page, harapan
itu makin redup. Sebab satu komentar menohok mata saya, “gooooooooooooblokkkkkkkkkkkkkkk
kumis doang luhhhh kaya jembut,” kata salah satu akun
Facebook mencibir pak menteri. Dan saya berpikir, hey, bukankah ini
implementasi kebencian juga? Kenapa kita memakai bahasa serupa?
Ini bukan soal FPI semata tapi sikap kita, dan saya melihatnya
keliru. Kenapa ketidaksetujuan yang dilontarkan teman-teman kontra harus syarat
dengan prasangka juga? Kenapa belum-belum sudah curiga? Saya pun melihat orang
menolak semata-mata karena identitas mereka, bukan karena yang mereka lakukan. Tiba-tiba
kita terjebak membela (juga menolak) orang dan bukannya prinsip. Dan bukankah
ini, juga, adalah sebuah diskriminasi?
Memang kita pernah melihat ada yang menebar benci,
menghakimi, main hukum sendiri---kita kenyang soal itu. Kalaulah tak setuju
dengan semua, katakan dari lubuk hati, dengan hati-hati. Jangan sampai kita
menolak dengan cara persis yang selama ini kita kritisi habis. Jangan sampai kita
menolak pelaku diskriminasi sementara itulah yang justru kita lakukan. Jangan
sampai egoisme temporal kita melunturkan apa yang selama ini kita bela.
Maka saya menolak, atas nama apa pun, bila FPI tak diberi
kesempatan. Tak perlu membenci FPI si penebar benci. Sebab satu-satunya alamat
bagi benci adalah si kebencian itu sendiri.*
Gambar milik news.liputan6.com
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSaya melihat ada yang lebih berbahaya untuk Indonesia Damai ketimbang FPI, walaupun FPI juga sering memaksakan kehendak. Saya melihjat selama ini dia tidak melibatkan diri pada isu sektarian seperti Syi'ah-Sunni-wahhaby-salafi.
ReplyDeletePertikaian dan kebencian yang ada dipage2 sebelah, - yang sering di provokasi oleh situs semacam VOA islam, arrahmah.com dll,- itu jauh lebih berbahaya, sebab dari kesimpulan yang saya baca, mereka menghalalkan darah. Nampaknya merupakan perpanjangan dengan apa yang ada di Suriyah. Mereka2 ini ingin mendirikan Khilafah dengan cara yang cukup membahayakan.