Indonesia Butuh Lebih dari Karnaval
*32 besar nasional Kompetisi Esai Mahasiswa Tempo Institute
Ringkasan :
Perayaan tujuh belasan mewakili
kontradiksi. Bila dulu bangsa ini lahir karena perbedaan, kini perbedaanlah
yang jadi alasan kekerasan-sebuah standar ganda terhadap
keberagaman. Jadi mana yang sebetulnya aneh: karnaval tujuh belasan atau
perilaku orang yang intoleran? Di sela ramainya suara permusuhan saat ini,
sekelompok orang membentuk blog persahabatan lintas-iman. Di untukharmoni.com, mereka mengajak
masyarakat Indonesia kembali merayakan perbedaannya. Sebab Indonesia harus
tetap ada, jangan sampai bubar jadi negara-negara kecil di Nusantara.
“Bapak-bapak,
ibu-ibu,” teriak panitia peringatan HUT RI sambil berlalu naik motor, “karnaval
akan dimulai pukul 3 sore ini. Seluruh warga diharap berkumpul di GOR.”
Pengumuman
itu baru saja lewat beberapa menit lalu, di depan rumah saya. Yang terjadi selanjutnya
sudah bisa ditebak : anak-anak berkumpul, memakai baju adat dari berbagai suku
di Indonesia, memegang bendera, siap dengan yel-yel terbaiknya. Tentu bapak ibu
mereka ikut mengantarkan. Mereka memastikan bahwa anaknya, juga baju sewaan
spesial untuk karnaval itu, baik-baik saja.
Setelah
ratusan warga berbaris panjang, musik dinyalakan dan pawai pun dimulai.
Lagu-lagu nasional lalu dinyanyikan, yel-yel dikeluarkan, spanduk dibentangkan.
Di setiap jalan yang dilaluinya, orang sibuk mengambil foto. Ada juga yang ikut
berjoget riang. Semuanya larut dalam sukacita bertema merah putih.
Saya
percaya kebhinnekaan adalah kunci keseruan ini. Sebab, bila semuanya seragam,
rombongan ini akan lebih mirip barisan Paskibra yang ditonton pada pagi
harinya. Inilah saat yang satu bisa memakai kebaya ketika temannya berbaju
Pramuka. Inilah saat semuanya boleh berbeda dan semua sepakat tidak
mempermasalahkannya.
Kita
merayakan apa sebetulnya?
Melihat
karnaval yang begitu ramai, tentulah bangga menjadi warga negara Indonesia.
Betapa tidak, bangsa ini memiliki 17.000 pulau, 1.300 suku dan 500 bahasa. Kita
sadar betul bahwa tak ada, dan takkan pernah ada, negara dengan budaya
semelimpah ini. Maka kita menepuk dada lalu berseru pada dunia, “Inilah
Indonesia, bangsa terkaya!”
Rasa
bangga itu diperkuat juga dengan hebatnya kelahiran bangsa. Di era kolonial,
siapa yang berpikir Sabang sampai Merauke harus satu nama? Namun pada tahun 1945,
Soekarno telah melakukannya. Tentu dia sadar betul penduduknya terlalu berbeda.
Maka disepakatilah Indonesia sebagai nama bersama, lengkap dengan Pancasila dan
bhinneka tunggal ika sebagai cara
bergaulnya.
Pancasila
itu tidak dibuat untuk dekorasi di ruang kelas saja. Pancasila adalah nasihat
pendiri bangsa yang kuatir bahwa suatu saat kita akan berkelahi. Lewat bhinneka
tunggal ika, kita juga diberitahu bahwa perbedaan adalah kekayaan, dan bahwa
keberagaman adalah ruang untuk saling belajar.
Kini,
Pancasila itu sedang disfungsi. Lihatlah, di banyak tempat di Indonesia, justru
perbedaan itu yang jadi alasan untuk melakukan kekerasan. Ditunjukkan oleh The
Wahid Institute, Indonesia punya catatan jelek soal kebhinnekaan. Tahun 2012
saja, ada 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama[1].
Artinya rata-rata 22 kasus tiap bulan, artinya sekitar satu kasus tiap dua
hari. Angka ini terus naik dari 121 kasus (2009), 184 kasus (2010), dan 267
kasus (2011)[2].
Gereja
Yasmin, HKBP Filadelfia, Ahmadiyah di Mataram dan Bekasi, juga Syiah di
Sampang, adalah beberapa kasus utama. Peristiwa ini melanjutkan catatan buruk
yang diharapkan selesai di Poso dan Sampit. Bersama ratusan kasus lain, mereka telah
melukai cita-cita bangsa. Ternyata ramalan Soekarno itu terbukti, dan ia takkan
bangga meski perkiraannya betul terjadi.
Indonesia
mulai kebingungan dengan dirinya sendiri. Rakyatnya mulai alergi dengan
perbedaan yang dulu dibanggakan. Ada yang saling pukul hanya karena berbeda
budaya, ada yang saling hina hanya karena beda agama. Membuat wajah Indonesia
semarak dengan ejekan, perkelahian dan hati yang terluka. Jangan-jangan,
sepuluh tahun mendatang takkan lagi ada keramaian serupa karena negara ini
sudah tinggal nama.
“Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir
menutup mata,” demikian kata lagu Indonesia Pusaka. Lagu ini dinyanyikan oleh
pemuda gereja dalam panggung “Bersama Beragam” di YLBHI, 1 Juni lalu. Pada
kesempatan bicara, Alissa Wahid bertanya, apakah betul Indonesia sudah pusaka?
Bisakah jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang hadir di situ mendengar lagu
tanpa perlu merasakan sakit?
Kini
saya jadi bertanya, apakah jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Syiah dan
Ahmadiyah rela berkarnaval juga? Saya takut mereka kesulitan. Bukan karena
tidak mau atau tidak mampu, tapi memang tidak tahu harus melakukan apa. Mungkin
mereka memilih meneteskan air mata. Sebab untuk apa merayakan kemerdekaan
bangsa yang tidak menerima mereka apa adanya?
Bisakah
mereka bangga sebagai warga Indonesia? Sedangkan di sini, di depan rumah saya,
nama Indonesia diteriakkan peserta karnaval yang sibuk merebut perhatian juri. Ternyata
kita larut dalam kebanggaan tahunan yang akan selesai dalam tiga jam saja. Kepada
tetangga kita, manusia-manusia satu bangsa, kita menutup mata dan enggan bicara.
Saya
hapal betul apa yang terjadi pada 18 Agustus tiap tahunnya. Usai bendera
kembali ke gudang, anak-anak kembali mengejek berdasarkan warna kulit, atau
bentuk mata yang sipit. Mereka tidak takut bahwa ejekan itu telah menyuburkan
kebencian, dan suatu saat bisa berubah jadi parang.
Saya
takut kita lebih suka nasionalisme yang digembar-gemborkan, tapi menelan ludah
sendiri di saat yang bersamaan. Kemerdekaan bukan hanya untuk dijadikan kemeriahan,
tapi melihat apa yang salah untuk kemudian dibetulkan. Jangan sampai karnaval ini
tak ubahnya parade fesyen semata, yang kemudian lenyap di hari berikutnya.
Perdamaian
harus vokal : cita untukharmoni.com
“Buat
Mamah, agama bukan masalah,” ujar ibu saya saat ditanya soal penutupan gereja.
Ibu saya cerita bahwa dengan tante Benny, tetangga kami yang kristen, tidak
pernah saling marah. Berbeda dengan satu warga lainnya yang, meski satu agama,
pernah berantem dengan ibu saya.
Saya
langsung teringat lagu pujian Kristiani yang biasa saya dengar di dapur
malam-malam. Saya ingat nada-nada ketika sanak saudara tante Benny, di pekan
tertentu tiap bulan, berkumpul di rumahnya dan berdoa bersama. Tak pernah ada
warga muslim yang mengusir mereka, sebagaimana mereka tidak mengusir warga
muslim yang mengadakan pengajian.
Dari
pengalaman keluarga saya di Bandung, dan keluarga besar di Bogor, Tasikmalaya
dan Yogyakarta, saya percaya masih banyak orang yang ingin hidup bersama. Masih
banyak orang bergotong-royong tanpa melihat bagaimana satu sama lain menyembah
Tuhannya. Namun, suara mereka kalah dengan yang anti-persaudaraan.
Dari
kesadaran bahwa terlalu banyak suara kebencian dan permusuhan yang beredar di
internet, untukharmoni.com muncul. Sejak lahir pada dua bulan lalu, blog ini
mengusung semangat persahabatan lintas-iman dan menolak kekerasan. Orang-orang
di dalamnya percaya bahwa perbedaan kepercayaan sepenuhnya bisa dibicarakan
baik-baik.
Orang-orang
di balik blog ini mengerti bahwa dialog adalah esensial di Indonesia yang
beragam. Namun mereka melihat upaya damai itu biasa dilakukan oleh kalangan
elit. Seringkali yang bicara adalah kalangan akademik dan pemimpin agama yang
sebetulnya tidak pernah bermasalah. Sedangkan di akar rumput, dialog menjadi
kering kerontang, dan masyarakat awamlah yang akhirnya kesulitan.
Itulah
kenapa mereka mengajak orang-orang biasa yang unjuk suara. Untukharmoni.com
berkeliling kota, mencari orang-orang yang mau menyumbangkan artikel, cerpen,
curhat, video, gambar, foto atau apa pun yang bertema persahabatan lintas-iman.
Mereka mengumpulkan suara kebersamaan dan perdamaian, satu demi satu, agar
Indonesia tetap ada. Sejauh ini sudah ada 41 nama yang menyumbangkan
gagasannya.
Di
blog ini, orang-orang dari berbagai kepercayaan, suku dan latar belakang
mengungkapkan dirinya dengan gaya yang sepenuhnya jadi kewenangan mereka. Seperti
buku digital “Indonesia Rumah Bersama” yang diterbitkan 17 Agustus pagi. Isinya
adalah 12 tulisan, dari curhat asyik sampai artikel akademik. Memang kepelangian
itulah yang ingin ditunjukkan oleh para penulis amatir yang turut serta. Pada intinya
ajakan mereka sederhana : mengajak semua orang Indonesia menjadi Indonesia.
Menjadi
Indonesia tidak diukur dari berapa pasal yang kita hapal, bukan berapa lagu
daerah yang fasih kita rapal, bukan juga berapa kali ikut karnaval. Menjadi
Indonesia adalah siap hidup di tengah perbedaan, melihatnya sebagai kekayaan
dan mulai membangun persahabatan. Menjadi Indonesia adalah sesederhana bertunggal
ika.
Menjadi
warga Indonesia adalah menyediakan hormat terhadap macam-macam keyakinan, dan
menghadapi perbedaan penafsiran tidak dengan kekerasan. Menjadi bagian
masyarakat warna-warni adalah bangga dalam agamanya tanpa perlu mengejek agama
lain. Menjadi bagian dari mozaik Indonesia adalah bersedia duduk bersama dan
menikmati seluruh kekayaan ini.
Di
usia Indonesia yang ke-68 ini, saatnya katakan selesai pada kebencian,
permusuhan dan kekerasan. Saatnya melupakan kecurigaan terhadap agama dan suku
mana pun. Meski kita beda iman, tetap bisa berteman. Meski kita tidak setuju,
kita tak perlu main tinju. Mari buktikan bahwa keputusan Soekarno menyatukan
Nusantara bukanlah sebuah kesalahan.
Saya
bermimpi tentang warga Indonesia yang membuang segalanya kecuali kebersamaan
dan gotong royong. Dua semangat yang memanggil mereka keluar rumah saat
mendengar pengumuman karnaval RW. Lalu mereka bergandengan tangan, memegang
bendera, bernyanyi. Bernyanyi yang bukan untuk juri, tapi untuk mereka sendiri.
Sebab mereka tahu semangat di balik karnaval yang penting untuk dihayati. []
Referensi
:
·
Laporan
Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012,
oleh The Wahid Institute. Diunduh dari www.wahidinstitute.org
[1]
Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan
Intoleransi 2012, oleh The Wahid Institute. Diunduh dari www.wahidinstitute.org
[2]
Ibid.
Terus maju mas, dan terus persatukan manusia-manusia yang dewasa berpikirnya, luas toleransinya dan memahami arti keberagaman, agar suaranya lebih vokal dan lantang demi kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan seluruh warga Indonesia.
ReplyDeleteTerimakasih sudah berkelana di blog saya, Pak. Yuk kita bersuara lantang! :D
Delete