8 Tips Menulis Feature
Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
Gambar milik sites.psu.edu
Jujur, berita politik dan hukum tidaklah menarik, apalagi bila ditulis sebagai berita langsung. Saya lebih tertarik mengupas persoalan sehari-hari yang dihadapi orang-orang. Soal kisah, perjuangannya, masalahnya, pendapatnya, cita-citanya, gaya hidupnya. Saya suka human interest.
Kisah-kisah pribadi tidak cocok dengan struktur piramida terbalik. Ia tidak bisa ditulis sebagai berita langsung. Ia harus menyentuh, lezat di setiap titik dan koma, bikin ketagihan. Kisah pribadi selalu mengundang tanya hingga akhir. Itulah yang membawa saya berkenalan dengan feature, karya jurnalistik yang lebih menyenangkan.
Feature atau karangan khas (kakhas) adalah bentuk tulisan, bukan tema. Feature berbeda dengan straight news, opini, kolom, artikel. Feature adalah berita yang menggunakan narasi, seperti novel dan cerpen. Ia kaya akan suasana dan mengajak pembaca seolah berada di lokasi kejadian. Namun, bagaimana pun ia hanya menyajikan fakta, bukan imajinasi.
Kali ini saya ingin berbagi tips menulis feature, meski saya pun masih perlu banyak belajar. Tips-tips ini saya dapat dari sejumlah pengalaman pribadi, ditambah bacaan Janet Steele dan Yudasmoro Minasiani.
Menulis Visual dan Auditori
Kisah-kisah pribadi tidak cocok dengan struktur piramida terbalik. Ia tidak bisa ditulis sebagai berita langsung. Ia harus menyentuh, lezat di setiap titik dan koma, bikin ketagihan. Kisah pribadi selalu mengundang tanya hingga akhir. Itulah yang membawa saya berkenalan dengan feature, karya jurnalistik yang lebih menyenangkan.
Feature atau karangan khas (kakhas) adalah bentuk tulisan, bukan tema. Feature berbeda dengan straight news, opini, kolom, artikel. Feature adalah berita yang menggunakan narasi, seperti novel dan cerpen. Ia kaya akan suasana dan mengajak pembaca seolah berada di lokasi kejadian. Namun, bagaimana pun ia hanya menyajikan fakta, bukan imajinasi.
Kali ini saya ingin berbagi tips menulis feature, meski saya pun masih perlu banyak belajar. Tips-tips ini saya dapat dari sejumlah pengalaman pribadi, ditambah bacaan Janet Steele dan Yudasmoro Minasiani.
Menulis Visual dan Auditori
Feature seperti sebuah film. Penulis perlu menulis apa yang dilihat dan didengar untuk kuatkan suasana. Misalkan penulis mewawancarai narasumber di rumah bergaya Belanda dengan pohon jati di depannya. Perhatikan baju narasumber, gerak geriknya, situasi ruang tamu. Perhatikan juga apakah ada suara burung, kendaraan lewat, musik dangdut, atau batuk. Hindari kata sifat seperti bersih, tampan, sejuk. Ceritakan lewat deskripsi detail.
Contoh : Lapang futsal ini beralaskan matras hitam dan dikelilingi tripleks tebal berisi logo sponsor.
Dialog yang Melimpah
Dalam feature, penulis boleh menggunakan dialog yang emosional dan kaya. Pilihlah kutipan narasumber yang mengundang haru, marah, benci, suka, lucu. Perhatikan juga aspek gaya bicara yang khas seperti logat, pilihan kata tertentu, intonasi. Tuliskan bahasa gaul atau bahasa daerah apa adanya. Hal ini menguatkan suasana.
Contoh : “Udeh kagak ade serem-seremnye,” kata Yayah saat ditanya soal banjir.
Bermain dengan Plot
Feature tidak harus tersusun secara kronologis. Penulis bisa mulai dengan klimaks, lalu mundur ke belakang, memberi latar sejarah, maju lagi, keluarkan data, baru maju lagi.
Contoh : Sudah sejak berangkat, sekitar 90 menit sebelumnya, Lingga asyik dengan musik.
Ikut Jadi Tokoh dalam Cerita
Penulis bisa ceritakan apa saja yang ditemui selama menulis cerita ini. Bagaimana orang-orang yang ditemui, bagaimana penulis bertemu orang yang akan ditanya, bagaimana wawancara dimulai atau berlangsung. Tulis juga bila wawancara sempat terpotong.
Contoh : Dia terus menggenggam telur Paskah itu sementara saya ajak berbincang.
Detail, Detail, Detail
Jangan puas dengan wawancara dan pandangan mata saja. Kelilingi lokasi peristiwa, cari orang-orang yang duduk-duduk di sekitarnya. Kuping pembicaraan mereka. Apakah mereka memakai baju khas? Perhatikan grafiti di dinding. Bisa juga putar-putar rumah narasumber, tanyakan ini apa dan itu apa. Tanya hobinya, apa kebiasaannya? Apakah tangan narasumber garuk-garuk ketika bicara? Apakah di baju narasumber ada tulisan yang cocok dengan cerita yang sedang dibuat?
Selalu Melihat Sisi Personal
Feature bisa membahas peristiwa besar, dengan sudut yang sangat pribadi. Bila ada kasus intoleransi, tariklah itu ke pengalaman satu orang. Tanyakan apa yang dirasakan narasumber dengan kejadian itu, apakah ada perubahan dari cara hidupnya, apakah lebih mudah atau susah, tanya harapannya.
Bukan Wawancara, Tapi Ngobrol Lama
Feature butuh kisah yang melimpah. Untuk sebuah feature, tidak bisa tanya-tanya barang tiga pertanyaan. Feature tidak selesai dengan tanya jawab ala konferensi pers. Lupakan wawancara, buatlah ajang curhat 30 menit antara dua orang teman. Tanyakan detail-detail peristiwanya. Tanyakan hal-hal yang berbau emosi, tanya apa yang dia rasakan, apakah dia kesal atau marah. Ngobrol lagi di lain waktu, jangan cuma sekali. Ngobrol lama ini memungkinkan kisah-kisah yang lebih pribadi dan mendalam. Feature pun akan lebih menarik.
Lahap Banyak Narasi!
Mari belajar dari contoh. Belajar alur dan memperkaya kosakata bisa dari banyak membaca feature di media. Ada dua sumber feature berkualitas buat saya, Majalah Tempo dan National Geographic Traveller. Belajar narasi bisa juga dari membaca novel atau cerpen. Carilah novel terjemahan, tata kalimatnya kerap menarik untuk ditiru.***
Contoh : Lapang futsal ini beralaskan matras hitam dan dikelilingi tripleks tebal berisi logo sponsor.
Dialog yang Melimpah
Dalam feature, penulis boleh menggunakan dialog yang emosional dan kaya. Pilihlah kutipan narasumber yang mengundang haru, marah, benci, suka, lucu. Perhatikan juga aspek gaya bicara yang khas seperti logat, pilihan kata tertentu, intonasi. Tuliskan bahasa gaul atau bahasa daerah apa adanya. Hal ini menguatkan suasana.
Contoh : “Udeh kagak ade serem-seremnye,” kata Yayah saat ditanya soal banjir.
Bermain dengan Plot
Feature tidak harus tersusun secara kronologis. Penulis bisa mulai dengan klimaks, lalu mundur ke belakang, memberi latar sejarah, maju lagi, keluarkan data, baru maju lagi.
Contoh : Sudah sejak berangkat, sekitar 90 menit sebelumnya, Lingga asyik dengan musik.
Ikut Jadi Tokoh dalam Cerita
Penulis bisa ceritakan apa saja yang ditemui selama menulis cerita ini. Bagaimana orang-orang yang ditemui, bagaimana penulis bertemu orang yang akan ditanya, bagaimana wawancara dimulai atau berlangsung. Tulis juga bila wawancara sempat terpotong.
Contoh : Dia terus menggenggam telur Paskah itu sementara saya ajak berbincang.
Detail, Detail, Detail
Jangan puas dengan wawancara dan pandangan mata saja. Kelilingi lokasi peristiwa, cari orang-orang yang duduk-duduk di sekitarnya. Kuping pembicaraan mereka. Apakah mereka memakai baju khas? Perhatikan grafiti di dinding. Bisa juga putar-putar rumah narasumber, tanyakan ini apa dan itu apa. Tanya hobinya, apa kebiasaannya? Apakah tangan narasumber garuk-garuk ketika bicara? Apakah di baju narasumber ada tulisan yang cocok dengan cerita yang sedang dibuat?
Selalu Melihat Sisi Personal
Feature bisa membahas peristiwa besar, dengan sudut yang sangat pribadi. Bila ada kasus intoleransi, tariklah itu ke pengalaman satu orang. Tanyakan apa yang dirasakan narasumber dengan kejadian itu, apakah ada perubahan dari cara hidupnya, apakah lebih mudah atau susah, tanya harapannya.
Bukan Wawancara, Tapi Ngobrol Lama
Feature butuh kisah yang melimpah. Untuk sebuah feature, tidak bisa tanya-tanya barang tiga pertanyaan. Feature tidak selesai dengan tanya jawab ala konferensi pers. Lupakan wawancara, buatlah ajang curhat 30 menit antara dua orang teman. Tanyakan detail-detail peristiwanya. Tanyakan hal-hal yang berbau emosi, tanya apa yang dia rasakan, apakah dia kesal atau marah. Ngobrol lagi di lain waktu, jangan cuma sekali. Ngobrol lama ini memungkinkan kisah-kisah yang lebih pribadi dan mendalam. Feature pun akan lebih menarik.
Lahap Banyak Narasi!
Mari belajar dari contoh. Belajar alur dan memperkaya kosakata bisa dari banyak membaca feature di media. Ada dua sumber feature berkualitas buat saya, Majalah Tempo dan National Geographic Traveller. Belajar narasi bisa juga dari membaca novel atau cerpen. Carilah novel terjemahan, tata kalimatnya kerap menarik untuk ditiru.***
Gambar milik sites.psu.edu
good, thaks for your post....
ReplyDeletethanks for visiting :)
DeleteKerenn kak makasiii :)
ReplyDeleteInformasi yang dihidangkan akan ilmu kepenulisan feature ini begitu renyah disantap. Terima kasih telah menghilangkannya, Bang.
ReplyDeleteWalau dihidangkan 10 tahun yang lalu, ilmunya tetap segar dan layak dipertimbangkan untuk dijadikan materi ajar.