Kartini, Kebaya, dan K Lainnya

 

Untuk para perempuan

Nuansa Kartini, seharian penuh, muncul di linimasa Facebook saya. Sama seperti tiga tahun sebelumnya, ini masih soal baju-baju daerah. Dua teman saya mengucapkan selamat Hari Kartini dengan mengunggah fotonya yang berbaju adat. Teman saya yang lain, seorang PNS, harus memakai pakaian adat di kantornya spesial hari ini. Tak ada yang menyoal emansipasi.

Saya yakin Kartini tidak membayangkan perjuangannya akan berakhir jadi peragaan busana. Baik itu kebaya, atau baju daerah lainnya. Apalagi yang diperagakan anak SD, yang bisa jadi tak kenal apa yang Kartini perjuangkan.

Semasa hidupnya, Kartini tidak membicarakan kebaya. Dia memang bukan perancang busana. Ide-ide Kartini adalah bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama, tapi setara. Kartini kesal melihat laki-laki menikah sementara perempuan dinikahkan. Kartini kesal melihat laki-laki sekolah tinggi sementara perempuan dipingit. Kartini ingin mengubah keadaan, dan dia berhasil memulai.

Kini, hampir 110 tahun selepas wafat Kartini, perjuangannya bahkan baru beberapa langkah sejak start. Perempuan kini masih disepelekan dan dianggap tidak punya kuasa atas dirinya sendiri. Perempuan hanya diberi sedikit kesempatan dan pilihan yang terbatas. Di sini, izinkan saya hanya membahas pendidikan, bidang yang diperjuangkan Kartini, dan juga didukung tafsir agama. Saya takkan membahas perempuan pekerja atau korban pemerkosaan, sebab saya malas diceramahi polisi moral.

Akses perempuan terhadap sekolah masih tak jauh beda dengan masa Kartini dulu. BPS pada 2009 mencatat 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah. Mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan, partisipasi perempuan makin rendah, yaitu SMA 18,59 persen, dan universitas 3,02 persen.

Hal ini dijelaskan di situasi lumrah keluarga Indonesia. Ketika orangtua memutuskan apakah anaknya yang laki-laki atau perempuan yang harus lanjut ke perguruan tinggi. Seperti biasa laki-laki dimenangkan oleh keadaan. Sayang sekali orangtua tidak menilai anaknya lewat kemampuan, melainkan cara pipisnya. Alasan klise mereka adalah perempuan akan berakhir jadi ibu rumah tangga dan tak perlu pendidikan tinggi.

Tidakkah Anda merasa kesal bila saudara Anda bisa kuliah hanya karena dia laki-laki? Dan Anda lebih marah karena menjadi perempuan atau laki-laki saat lahir itu di luar kuasa kita? Kartini merasa itu sangatlah tidak adil. Kartini percaya perempuan harus diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan. Kalau pun akhirnya kalah bersaing itu soal lain. Inilah yang Kartini rasakan dan perjuangkan. Sekarang kita menyebutnya emansipasi, penghapusan penindasan.

Saya ingin kembali menegaskan bahwa Hari Kartini bukanlah Hari Kebaya. Dia bukan perancang busana. Kartini punya cita-cita sosial yang jauh melampaui zamannya. Cita-cita itu, dan inilah K yang sebenarnya: Kesetaraan. Kartini memimpikan dunia di mana laki-laki dan perempuan hidup bersama, bersaing, berkompetisi secara bebas. Punya hak yang sama di mata hukum. Tidak ada yang diremehkan. Semua boleh unjuk kemampuan.

Hari ini, mari kita rayakan gagasan Kartini tidak dengan kebaya, koteka, atau baju adat lainnya. Mari kita lanjut dengan kasus-kasus pemerkosaan, buruh migran, angka kematian ibu, di mana perempuan sering jadi korban dan luput dari perhatian. Beranikah Anda, hai perempuan?***

Comments