NHK dan Warta Air Mata



花は 花は 花は咲く
いつか 生まれる 君に
花は 花は 花は咲く
私は 何を 残しただろう

hana wa hana wa hana wa saku
itsuka umareru kimi ni
hana wa hana wa hana wa saku
watashi wa nani wo nokoshita darou

Bunga akan mekar, ya, akan mekar
Untukmu, yang akan lahir kemudian
Bunga akan mekar, ya, akan mekar
Apa yang aku wariskan padamu?


----


Itulah reff lagu Hana wa Saku 花は咲く (Bunga Akan Mekar) yang dibuat NHK Jepang, saat tsunami melanda Tohoku, Maret 2011 silam. NHK Jepang adalah lembaga penyiaran publik negara itu, dengan media televisi dan radio, mirip TVRI dan RRI digabung.

Saat itu, NHK mengumpulkan penulis lagu, komposer, plus 33 seniman dari lokasi terdampak bencana, untuk membuat lagu amal ini. Hana wa Saku juga jadi lagu tema untuk dokumenter pemulihan berjudul TOMORROW di media yang sama. Seluruh royalti lagu diberikan untuk pemulihan korban. Oke, itu hebat. Tapi pesan yang dirangkum di dalam lagu itu, optimisme, buat saya jauh lebih penting.

Kini pindahkan kanalmu ke televisi dalam negeri, lalu kamu akan melihat hal yang sebaliknya. Dalam longsor Banjarnegara dan Kecelakaan Air Asia, suara-suara optimisme kalah telak dengan jurnalisme sakarepmu. Alih-alih fokus pada proses evakuasi bencana dan pemulihan korban, media malah lebih gemar menulis bumbu-bumbunya.

Simak berita-berita berikut: Misteri Bau Wangi di Kuburan Massal Korban Longsor Banjarnegara di vivanews.com, Dukun Belitung: Makhluk Gaib Sembunyikan AirAsia di Goa Bawah Laut di tribunnews.com, atau Puing Ditemukan, Keluarga Korban Air Asia Histeris di tempo.co. Oh, catat pula berapa paket berita televisi yang diembel-embeli musik melow, lalu berapa ember air mata keluarga yang disorot kamerawan---plus pertanyaan reporter yang entah bodoh atau jahat tentang "bagaimana perasaan bapak?"

Terimakasih media Indonesia. Berita-berita itu akan membantu tim SAR mencari korban yang hilang, menyembuhkan luka batin penyintas, dan mencerdaskan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan ehem, tentu saja tidak! Berita-berita di atas adalah contoh terbaik dari berita tidak simpatik, mengobral air mata, dan mendangkalkan pikiran kita---yang secara lucu, mereka laku.

Media Seharusnya

Kondisi ini sudah ditulis secara jeli oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas, dalam bukunya "Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme" yang terbit 2010. Dalam meliput bencana, kata Arif, media harusnya fokus pada penanganan bencana, pemulihan korban, dan memastikan korban dapat hak-haknya. Media juga bisa dapat nilai tambah dengan membuka dompet bantuan. Dengan cara tersebut, media akan sangat efektif membantu masyarakat.

Dalam kasus kecelakaan penerbangan, buat saya, media juga perlu mempertimbangkan hal-hal berikut. Media perlu mengangkat evaluasi peraturan yang berjalan, apakah sudah dijalankan sepenuhnya?  Media juga harus mengawal investigasi kecelakaan, dan menahan diri ikut campur. Ini artinya, media tidak melangkahi pihak yang berwenang dengan membuat kesimpulan hanya dari perkiraan pengamat---termasuk membuat video rekonstruksi kecelakaan bahkan ketika black box belum ditemukan.

Media tidak lagi bisa berkilah bahwa air mata dan misteri diinginkan masyarakat. Jangan karena masyarakat kita menggemari sinetron dan acara misteri, lantas menjadikan berita bencana sepertiga sinetron dan sepertiga misteri. Kata Maman Suherman, "itu Teori Punjabi." Justru di bahu medialah tanggung jawab mencerdaskan masyarakat itu diemban. Media harus jadi pemutus kebodohan, bukan malah melanggengkannya.

Kalaulah ingin unsur human interest yang ditonjolkan, kenapa tidak datang ke rumah korban pesawat Air Asia dan menulis feature panjang sekalian? Kalau media berpendapat bahwa dukun-dukun Belitung menarik untuk diberitakan, kenapa tidak menulis aspek budaya dan kepercayaan mereka? Bukankah sajian jurnalisme yang demikian akan bermakna lebih dalam, mengandung segudang informasi, sekaligus sah dari segi jurnalisme dan penyiaran?

Berita baiknya, TV One pernah mengundang tim SAR menjelaskan peralatan yang mereka gunakan, pun MetroTV pernah membahas teknologi yang digunakan untuk mencari badan pesawat Air Asia. Ini dia berita yang berguna. Langkah selanjutnya adalah media harus berhenti membuat berita bumbu. Mereka harus mendidik masyarakat untuk optimis, dan rela berhenti mengeksploitasi korban demi rating mereka.

Lewat frekuensi publik, media hanya boleh memberitakan yang diperlukan publik---seperti NHK yang konsisten tidak menayangkan air mata. Sebab, di detik-detik yang sama, ada ratusan korban longsor Banjarnegara yang hak-haknya rentan diselewengkan, serta ratusan keluarga korban Air Asia yang perlu pemulihan. Perlu berapa bencana atau kecelakaan lagi sampai akhirnya kita akan belajar?***


Penulis, jurnalis Kantor Berita Radio 68H



Bacaan lanjut:
Penjelasan Lagu Hana wa Saku 花は咲く
Ahmad Arif menulis untuk Remotivi Jurnalisme Bencana: Tugas Suci, Praktik Cemar

Comments

  1. Yang namanya media pasti mencari sensasi agar dilihat penonton. Peran media kadang malah menyudutkan pihak tertentu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. NHK juga mencari sensasi, secara kreatif, bukan melanggar etik. Penasaran sama media Indonesia apa bisa juga ya? :)

      Delete
  2. setuju banget rio, kesel sama beberapa media sekarang ini berasa memperburuk keadaan. COba dikirim ke surat pembaca atau opini di koran gitu, biar membuka mata media yg seenak udel nyiarin berita layak konsumsi dan engga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Pia, makasih banget udah mampir. Iya, suka kesel gitu ya kalau nonton televisi. Soal surat, aku kan wartawan, kok kayaknya nggak pantes ya kalau nulis opini di koran? Hihi :p

      Delete
  3. tulisan yang inspiratif, semoga mencerahkan para pekerja media kita..

    ReplyDelete

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran