Media Amerika Gagal Sembunyikan Sentimennya


Untuk Deah Shaddy Barakat, Yusor dan Razan Mohammad Abu-Sahla


Tiga mahasiswa muslim amerika tewas di Chapel Hill setelah ditembak tetangganya (hanya karena masalah parkir?) dan media sekaliber CNN baru menulis kejadian tersebut 19 jam setelahnya.

Ada tanda tanya besar yang perlu diberikan pada grup media yang berbasis di Atlanta, Amerika Serikat ini. Betulkah jurnalis CNN kesulitan mengakses lokasi kejadian, atau memang pembunuhan ini dianggap tidak punya nilai berita?

Kita memang tak bisa membandingkan penembakan Chapel Hill ini dengan penembakan Charlie Hebdo di Paris. Sebab peristiwa Paris menyerang redaksi sebuah media, dan karenanya terhubung dengan isu kebebasan berbicara, sehingga jadi urusan antar-negara. Sementara penembakan Chapel Hill sampai saat ini dianggap sebagai urusan antar-tetangga, dan polisi belum menemukan motif kebencian agama dalam kasus ini.

Tapi bukankah nyawa manusia tetap nyawa, dan pembunuhan tetap pembunuhan? Bukankah kedua peristiwa ini harus dibingkai sama dalam sebuah berita?

Ya, media amerika kini mengejar ketertinggalan. Mereka sudah menulis berita penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa yang sering ikut acara amal itu. Tapi seberapa keras pun media amerika mencoba menulis beritanya, mereka gagal menyembunyikan sentimen mereka terhadap Islam dan muslim–disengaja atau tidak.

Dalam penembakan Charlie Hebdo, misalnya, CNN menyebut pelaku sebagai teroris. Tapi dalam kasus ini, CNN menyebut pelaku hanya seorang pria. Padahal semua pelaku psikopat yang sama-sama memakai senjata. Padahal semua pelaku sama-sama gila dan barbar yang telah menghilangkan nyawa. Jika pelakunya muslim, identitas agamanya langsung disorot. Jika pelakunya bukan muslim, dianggap kriminal biasa. Hal ini menunjukkan standar ganda mereka.

Jangan lupa: media Barat juga gagal menunjukkan konsistensi mereka atas nilai berita, ketika meliput rakyat Palestina dan Rohingya di Myanmar. Para jurnalisnya gagal melepaskan jaket pengalaman subjektif mereka, dan mengemas fakta lewat jaring prasangka.

Saya muslim, tapi saya tidak ingin membela Deah, Yusor, dan Razan hanya karena mereka sesama muslim. Saya enggan terjebak pada masalah identitas, yang bisa menyeret saya pada ajang balas dendam secara religio-politis.

Saya muslim, saya mengutuk pembunuhan atas motif apa pun–dan saya menyesalkan media amerika yang bertindak menebalkan prasangka, juga melakukan rediskriminasi lewat instrumen jurnalisme.***

Comments

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran