Membongkar Batas Stereotip
Penilaian kita diuji dalam perjalanan ini
Jumat pagi lalu, saat perjalanan kereta ke Solo, saya sebelahan dengan nenek Jawa-Tionghoa. Ngomongnya medok, sekitar mata sipitnya keriput, di lehernya ada kalung salib. Saya khawatir perjalanan ini takkan nyaman. Ternyata kekhawatiran saya sia-sia.
Nenek tadi mengajak saya basa-basi hingga ngobrol panjang. Mulai dari asal dan tujuan, lalu soal Solo, Jokowi, pecel di Kroya, bule Belanda di belakang kami, dan hobi menulis saya. Dia tawarkan keripik pisan dan stik keju. Dia bahkan hampir mentraktir saya pecel saat kereta berhenti di Kroya.
Malamnya, saat di bus menuju Mojokerto, saya bertemu kondektur. Dengan intonasi rendah dia merespon permintaan tujuan saya. Dia pun mengajak saya basa-basi soal asal dan tujuan ke Mojokerto, juga soal kegiatan yang akan saya ikuti. Saat hampir sampai, dia hampiri saya dan mengingatkan untuk turun. Dia menutupnya dengan petunjuk arah yang harus saya ambil selanjutnya.
Minggu malam, saat di bus menuju Yogya, saya bertemu bapak bertopi. Kepalanya terjeduk ransel saya yang besar, saya minta maaf dan tanpa berpikir lama ia bilang tak apa-apa. Seorang mbak yang duduk di pinggir saya pun tak sungkan menjawab basa-basi saya.
Senin dini hari, saat sampai di terminal Yogya, saya bertemu supir ojek. Di perjalanan, dia bilang tujuan saya jauh, tapi ia tidak licik memutar jalan agar dapat uang lebih. Saat bannya kempes, dia beritahu saya dan meminta maaf.
Senin siang, saat saya duduk di teras rumah kakak, saya mengulas semuanya. Entah kenapa ibu saya bilang itu 12 tahun lalu. Ternyata yang saya dengar berbalik dengan yang saya alami. Mungkin ibu, guru, teman dan pemuka agama saya perlu pergi ke Mojokerto seorang diri. Bukan untuk sekadar berfoto di Vihara Buddha Tidur seperti yang saya sukai. Tapi untuk menguji penilaian tak berdasar yang selama ini mereka percayai. []
-Yogyakarta, 29 Oktober 1012
"Jangan berteman dengan Mutiari, dia Jawa," tegas ibu saya di satu siang 12 tahun lalu. Nasihat rasis itu terlalu sering saya dengar. Tidak hanya ibu, baik guru, teman dan pemuka agama saya pun turut serta bilang. Hingga usia 20 ini, saya masih dengar hal mirip, stereotip tadi pun sampai mengendap di otak. Namun di usia ini pula lah, kepercayaan saya diuji.
Teman-teman baru, mereka orang Jawa |
Jumat pagi lalu, saat perjalanan kereta ke Solo, saya sebelahan dengan nenek Jawa-Tionghoa. Ngomongnya medok, sekitar mata sipitnya keriput, di lehernya ada kalung salib. Saya khawatir perjalanan ini takkan nyaman. Ternyata kekhawatiran saya sia-sia.
Nenek tadi mengajak saya basa-basi hingga ngobrol panjang. Mulai dari asal dan tujuan, lalu soal Solo, Jokowi, pecel di Kroya, bule Belanda di belakang kami, dan hobi menulis saya. Dia tawarkan keripik pisan dan stik keju. Dia bahkan hampir mentraktir saya pecel saat kereta berhenti di Kroya.
Malamnya, saat di bus menuju Mojokerto, saya bertemu kondektur. Dengan intonasi rendah dia merespon permintaan tujuan saya. Dia pun mengajak saya basa-basi soal asal dan tujuan ke Mojokerto, juga soal kegiatan yang akan saya ikuti. Saat hampir sampai, dia hampiri saya dan mengingatkan untuk turun. Dia menutupnya dengan petunjuk arah yang harus saya ambil selanjutnya.
Minggu malam, saat di bus menuju Yogya, saya bertemu bapak bertopi. Kepalanya terjeduk ransel saya yang besar, saya minta maaf dan tanpa berpikir lama ia bilang tak apa-apa. Seorang mbak yang duduk di pinggir saya pun tak sungkan menjawab basa-basi saya.
Senin dini hari, saat sampai di terminal Yogya, saya bertemu supir ojek. Di perjalanan, dia bilang tujuan saya jauh, tapi ia tidak licik memutar jalan agar dapat uang lebih. Saat bannya kempes, dia beritahu saya dan meminta maaf.
Senin siang, saat saya duduk di teras rumah kakak, saya mengulas semuanya. Entah kenapa ibu saya bilang itu 12 tahun lalu. Ternyata yang saya dengar berbalik dengan yang saya alami. Mungkin ibu, guru, teman dan pemuka agama saya perlu pergi ke Mojokerto seorang diri. Bukan untuk sekadar berfoto di Vihara Buddha Tidur seperti yang saya sukai. Tapi untuk menguji penilaian tak berdasar yang selama ini mereka percayai. []
-Yogyakarta, 29 Oktober 1012
Entah apa yang dikhawatirkan dari pelarangan bergaul dengan orang jawa itu ya...?
ReplyDeletesaya juga belum tahu. tapi mungkin karena dulu kerajaan Sunda dan Jawa pernah berperang.
ReplyDelete