Buku : Maryam
Oleh Rio Rahadian Tuasikal
Judul :
Maryam
Penulis :
Okky Madasari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
2012
Tebal :
275 halaman
ISBN :
978-979-22-8009-8
Maryam bercerai dan kembali ke kampungnya di Lombok. Rumah tangganya di Jakarta tak bisa bertahan akibat cek cok dengan mertua. Terlebih lagi pernikahannya itu tak direstui orangtua Maryam sendiri. Dia berharap pulang ke keluarganya akan memperbaiki semua. Dia ingin meminta maaf karena sempat kabur dari keluarganya. Namun Maryam menemukan keluarganya tidak lagi di rumahnya dulu.
Maryam yang kebingungan harus mencari ke berbagai tempat soal keluarganya. Selama pencarian itu dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari tetangganya dulu. Satu per satu informasi dia dapatkan, semuanya menjelaskan apa yang menimpa keluarganya. Ternyata keluarganya diusir dari desa itu. Maryam semakin paham kenapa semuanya berubah.
Selepas bertemu keluarganya, karena rasa bersalah, Maryam berubah. Dia berharap bisa memulai babak kehidupan baru. Maryam menikah lagi dengan jodoh dari orangtuanya. Ingin membangun rumah tangga yang bahagia pula sejahtera. Saat Maryam mengandung, keluarganya mendapat pengusiran lagi. Kali ini Maryam merasakan sendiri derita yang dulu menimpa keluarganya.
Kini orangtua Maryam dan tetangganya tinggal di pengungsian. Mereka yang diusir dari rumah yang padahal dibeli dari hasil usaha sendiri. Sempat mereka mencoba pulang namun rumah mereka sudah hancur. Tak ada harta yang tertinggal, mereka kembali ke pengungsian dan memulai lagi hidup dari nol. Maryam berkesimpulan, hidupnya akan lebih mudah seandainya keluarganya bukan penganut Ahmadiyah.
Memaknai perbedaan
Dewasa ini, kasus kekerasan berlatar SARA makin sering terjadi. Kalangan aktivis keragaman mulai mempromosikan toleransi dan anti-diskriminasi. Seminar, lokakarya dan deklarasi banyak dilakukan. Yang datang biasanya kalangan moderat yang sudah sepakat untuk sepakat. Justru di tempat lain, pelaku kekerasan adalah masyarakat awam, di level akar rumput, yang bingung menangani perbedaan. Aktivis sibuk sendiri dengan ide-idenya.
Penulis Okky Madasari menjawab tantangan itu. Lewat lika-liku kehidupan tokoh Maryam, penulis menceritakan diskriminasi yang selama ini Ahmadiyah alami. Soal bagaimana menghadapi stigma di sekolah sejak kanak-kanak hingga jenjang pernikahan. Pembaca dibawa mengenal kehidupan bertetangga yang awalnya biasa saja tapi berubah drastis setelah warga diprovokasi. Sebetulnya pembaca hanya menelusuri kisah keluarga yang sehari-hari dan bisa dialami siapa saja.
Tak berhenti di situ, penulis pun menjelaskan bagaimana hak-hak sipil mereka telah dikebiri. Lewat peristiwa pengusiran dari rumah milik mereka sendiri. Melalui kisah pemimpin daerah yang meminta mereka beralih keyakinan saja. Juga dari kehadiran wartawan yang tak kunjung merubah keadaan. Kisah amat pribadi yang sebetulnya membingkai sebuah urusan besar di Indonesia. Tidak hanya mengingatkan soal Ahmadiyah, tapi juga puluhan peristiwa serupa di seluruh negeri.
Sepanjang 8 bab buku ini, penulis mengambil posisi netral. Tak sekali pun penulis menjelaskan Ahmadiyah, baik doktrin atau pun sejarah ajarannya. Penulis juga tidak melakukan penilaian terhadap ajaran itu. Dia hanya menceritakan kegiatan mereka sehari-hari, seperti pengajian dan kumpul-kumpul. Justru karena itu pembaca bisa melihat peristiwa ini dari kacamata kemanusiaan. Melihat Maryam serta keluarganya sebagai manusia yang punya hak-hak sipil juga.
Lewat dialog para tokohnya, penulis menceritakan bagaimana pemahaman masyarakat soal perbedaan keyakinan. Pembaca juga sedikitnya bisa memahami pemikiran kelompok Ahmadiyah soal keberadaan mereka sendiri. Termasuk pandangan dari kelompok Ahmadiyah kepada kalangan lain juga sebaliknya.
Penulis menyandarkan kisah novelnya pada berbagai kejadian nyata. Misalnya di Parung tahun 2005, perusakan rumah di Lombok tahun 2005 dan pengungsian ke gedung Transito, Mataram tahun 2006. Kisah ini diperkuat oleh riset langsung penulisnya di Lombok. Berita-berita di televisi dan koran tak luput memperkaya suasana cerita.
Lewat novel ini, penulis menerjemahkan gagasan kebhinekaan ke dalam bahasa awam. Tanpa perlu menerangkan konsep hak azasi, pembaca bisa memahami sulitnya hidup sebagai minoritas. Tidak terjebak pada konsep akademik dan teologis. Tidak neko-neko, merakyat dan sederhana. Melalui pengalaman personal Maryam itu, tersimpan pula kerinduan akan toleransi antarumat beragama.
Novel ini cocok sekali bagi yang mendalami isu keragaman, kerukunan dan hak azasi. Kisah ini pun bisa menambah khazanah pemahaman soal konflik berlatar SARA. Alur detailnya membantu memahami pemicu-pemicu konflik yang kerap terjadi. Kisah sehari-hari yang digunakan bisa membawa pembacanya belajar berbesar-hati menerima orang-orang yang berbeda. Namun demikian, meski membawa isu besar, novel ini tetap cocok sebagai bacaan sehari-hari. ***
Penulis, blogger, penikmat keragaman
Sepanjang 8 bab buku ini, penulis mengambil posisi netral. Tak sekali pun penulis menjelaskan Ahmadiyah, baik doktrin atau pun sejarah ajarannya. Penulis juga tidak melakukan penilaian terhadap ajaran itu. Dia hanya menceritakan kegiatan mereka sehari-hari, seperti pengajian dan kumpul-kumpul. Justru karena itu pembaca bisa melihat peristiwa ini dari kacamata kemanusiaan. Melihat Maryam serta keluarganya sebagai manusia yang punya hak-hak sipil juga.
Lewat dialog para tokohnya, penulis menceritakan bagaimana pemahaman masyarakat soal perbedaan keyakinan. Pembaca juga sedikitnya bisa memahami pemikiran kelompok Ahmadiyah soal keberadaan mereka sendiri. Termasuk pandangan dari kelompok Ahmadiyah kepada kalangan lain juga sebaliknya.
Penulis menyandarkan kisah novelnya pada berbagai kejadian nyata. Misalnya di Parung tahun 2005, perusakan rumah di Lombok tahun 2005 dan pengungsian ke gedung Transito, Mataram tahun 2006. Kisah ini diperkuat oleh riset langsung penulisnya di Lombok. Berita-berita di televisi dan koran tak luput memperkaya suasana cerita.
Lewat novel ini, penulis menerjemahkan gagasan kebhinekaan ke dalam bahasa awam. Tanpa perlu menerangkan konsep hak azasi, pembaca bisa memahami sulitnya hidup sebagai minoritas. Tidak terjebak pada konsep akademik dan teologis. Tidak neko-neko, merakyat dan sederhana. Melalui pengalaman personal Maryam itu, tersimpan pula kerinduan akan toleransi antarumat beragama.
Novel ini cocok sekali bagi yang mendalami isu keragaman, kerukunan dan hak azasi. Kisah ini pun bisa menambah khazanah pemahaman soal konflik berlatar SARA. Alur detailnya membantu memahami pemicu-pemicu konflik yang kerap terjadi. Kisah sehari-hari yang digunakan bisa membawa pembacanya belajar berbesar-hati menerima orang-orang yang berbeda. Namun demikian, meski membawa isu besar, novel ini tetap cocok sebagai bacaan sehari-hari. ***
Penulis, blogger, penikmat keragaman
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran