#CherishYIC : Ini Bidah, Bukan Bid’ah

Oleh @riotuasikal
 
Romo Risdo (tiga kiri atas) bersama jemaat bidah unyu-unyu rahmatullah.
“Kamu pernah di persekutuan mana?” tanya Risdo pada saya siang itu. Saya jelaskan saya muslim dan dia heran. Katanya wajah saya Kristen mirip injil. Saya tertawa karena memang sering disebut demikian. Delapan jam berselang, bersama Okky, Otniel dan Andre, kami habiskan tiga jam bergumul soal gereja dan teologi Kristen. Saya muslim sendirian dan jadi target penginjilan saudara-saudara.

Tak perlu kaget. Karena sebetulnya ‘target penginjilan’ adalah lelucon kami. Otniel yang Protestan bahkan menciptakan metode baptis baru selain percik dan selam, yakni celup. Akhirnya berulang kali Risdo dan Otniel bilang akan membaptis saya dengan metode celup. Kata mereka tiga jam itu adalah katekisasi (tahapan sebelum baptis) pertama saya. Semua terbahak.

Beruntunglah saya berada di Youth Interfaith Camp, di Lembang. Berkenalan dengan orang-orang yang tersatukan dalam kasih. Dari Kamis (7/3) hingga Sabtu (9/3) kemarin, saya dan 77 pemuda Islam, Protestan, Katolik, Orthodoks dan Buddha lain dibekali banyak soal perdamaian. Kami saling berinteraksi, berbincang, dan mencek stigma masing-masing.

“Kamu pasti nggak jago nyanyi, kamu kan muslim,” kata Risdo lagi. Saya tertawa lagi. Baiklah, orang muslim memang tak punya orgel sebesar alaihim di masjidnya. Bagaimana bisa punya, sandal saja hilang apalagi bila punya organ. Saya pikir orang Kristen memang lebih sering latihan nyanyi lewat kidung. Maka orang yang suaranya paling merdu adalah orang Kristen, yang kuliah di universitas kristen, yang jadi anggota paduan suara universitas dan gerejanya. Oh haleluya! Hahaha.

Sejak tersatukan di kelompok Bandung, saya jadi domba tersesat. Rasanya besok saya harus ke kotak pengakuan dosa sambil berurai air mata. Oh tidak, tentu saya cuma bercanda. Kenapa saya cerita demikian gila? Soalnya ejekan tentang pak haji dan pastor, baptis celup, pindah agama lantaran sekardus mie instan, juga soal taubat bersama terlontar begitu saja. Tak ada yang tersinggung, semua tertawa. Maka inilah yang namanya merayakan perbedaan.

Kami mengangkat, untuk tidak bilang mengorbankan, Risdo jadi Romo kami. Romo Risdo lalu menyatakan kami jemaatnya yang dia beri nama Bidah, bukan bid’ah. Penyebutannya nyaris sama namun maknanya begitu kontras. Bila bid’ah adalah istilah untuk sesuatu yang dinilai melenceng, nama Bidah adalah akronim dari Beda Itu Indah. Kami adalah jemaat bidah yang terkasih.

Meski pelaksananya dari Gereja Kristen Pasundan, tak ada halangan untuk muslim. Panitia menyediakan waktu saya untuk bersekutu dengan Tuhan setiap Dzuhur, Ashar dan tiga waktu lainnya. Terpujilah karena pergumulan saya soal kristenisasi tak ada di sini. Karena toh sebetulnya kristenisasi memang tak pernah ada secara masif. Puji Tuhan.

Di saat teduh ini saya memuji Tuhan. Tuhan, terimakasih saya boleh ikut kegiatan ini. Terimakasih atas kasih yang Kau beri pada kami anak-Mu. Puji Tuhan, saya tetap Islam. Sebagaimana yang lain tetap pada agamanya semula. Sebab pluralisme bukan bid’ah, hanya menegaskan bahwa beda itu indah. Dan saya sadar bahwa kesaksian saya ini Kristen banget. Boleh tepuk tangan. []

Comments

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran