Mengulang Relasi Manis Tionghoa-Sunda (2)

Teks oleh Rio Rahadian Tuasikal / @riorahadiant

Sila baca bagian pertamanya di bagian 1.

Jalan Raya Pos pada 1938. Sekarang jadi Jalan Asia-Afrika (sumber wikipedia.org dari Tropen Museum)
 Menurut pendiri Komunitas Aleut! Ridwan Hutagalung, alasan warga Tionghoa didatangkan ke Bandung ada dua versi. Pertama, guna membantu pembuatan jalan raya pos (groote postweg) pada masa Daendels tahun 1808. Mereka dihadirkan karena dikenal handal dalam pertukangan. Versi lain menyebutkan warga Tionghoa ke Bandung lantaran lari dari “Java Oorlog” atau perang Diponegoro tahun 1825.

Di Bandung, kawasan pecinan diperkirakan sebelah barat alun-alun. Dalam majalah Mooi Bandoeng tahun 1935, Profesor Dr. Godee Molsbergen memperkirakan pasar pertama dibuat pada 1812 di kampung Ciguriang, belakang Gedung Kepatihan sekarang.

Dalam attayaya.net, dijelaskan penyebaran penduduk Tionghoa ini. Tahun 1885 warga Tionghoa mulai menyebar ke Jln. Kelenteng. Pecinan di Jln. Kelenteng ditandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Menurut keterangan pengurus Vihara Satya Budhi, pecinan di Bandung seperti rumah-rumah toko pada umumnya, tak ada asesoris khusus seperti pecinan di daerah lain di Indonesia. Warganya pun beragam, tak hanya keturunan Tionghoa.

Pecinan berkembang pesat disekitar Pasar Baru sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jln. Belakang Pasar, tahun 1910. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun banyak yang mendirikan kios di wilayah ini. Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus tahun 1914. 
Warga Tionghoa penjaga toko (sumber aleut.wordpress.com)

Di blog ini pula, Soeria Disastra mengatakan hubungan warga Tionghoa dan Pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali. Akan tetapi, Belanda tidak senang melihat kedekatan itu. Belanda pun memisahkan Tionghoa dan Pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi. Menjual rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk di ekspor. Lama kelamaan kedekatan dua pihak pun memudar.

Setelah 88 tahun tertutup, akhinya pada 1852 Priangan dinyatakan terbuka oleh Hindia Belanda. Barulah gelombang imigran warga Tionghoa berdatangan. Buku Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung menampilkan datanya. Tahun 1874, tercatat 6 keluarga tinggal di sini. Tahun 1906, warga Tionghoa tercatat sebanyak 3.700. Bandingkan dengan pribumi yang 41.000 dan Eropa yang 2.100.

Tahun 1911, Belanda mencabut semua larangan soal Tionghoa. Maka melejitlah angka pertumbuhan warga Tionghoa di pecinan Bandung hingga lewat 10.000 di tahun 1929. Namun ini hanya berlangsung singkat karena Jepang keburu masuk di tahun 1942. Bagi pendatang Tionghoa, Bandung adalah daerah terakhir yang dimasuki dan dihuni. Karenanya peninggalan mereka juga tidak banyak. 
Pecinan Bandung yang hancur di sana-sini (sumber aleut.wordpress.com)

Kejayaan pecinan makin redup seiring terjadinya Bandung Lautan Api tahun 1946. Ketika pribumi memilih meninggalkan Bandung setelah membakarnya, warga Tionghoa memilih pindah ke utara. Di attayaya.net, generasi keempat kios “Babah Kuya” Sie Tjoe Liong (75) menjelaskan situasi ini. Tahun itu Bandung terpisah menjadi bagian utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur dari Cimahi hingga Kiara Condong.

Saat pribumi kembali dari pengungsian di luar kota, mereka menemukan properti-properti milik warga Tionghoa yang masih ditinggalkan. Mereka merusak bangunan dan menjarah isinya. Akhirnya saat ini kita tidak dapat menemukan banyak peninggalan bangunan khas Tionghoa di Bandung. Lebih dari itu, hubungan kedua pihak jadi tegang.

Akibat insiden itu, warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegalega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dengan demikian, dari Pasar Baru, kawasan pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. Pada akhirnya, warga Tionghoa dan pribumi pun bersatu kembali.

Kelenteng Bandung (sumber templesymbolchineseculture.wordpress.com)

Kini sudah 67 tahun sejak Bandung Lautan Api. Hubungan keduanya yang bermula harmonis harus naik turun oleh berbagai faktor. Sekarang keduanya telah lebur dalam nama Indonesia, setelah enam abad sejak pertemuan pertama mereka.

Bisa jadi memori itulah yang membuat nenek-nenek sipit dan mahasiswi berkerudung kompak bertepuk tangan atas puisi di awal. Mungkin pula sejarah itu yang menuntun Soeria Disastra merangkai kata-katanya. Kerinduan akan keharmonisan hubungan yang dibangun moyang mereka. Kini keduanya sepakat rindu relasi yang manis dan hangat. Semanis jeruk-jeruk bundar, sehangat lampion terang, yang menghiasi altar kelenteng Bandung tiap kali imlek hadir. [] 

Comments