Mengulang Relasi Manis Tionghoa-Sunda (1)

Teks oleh Rio Rahadian Tuasikal / @riorahadiant

Soeria Disastra (sumber sundanews.com)

“Tak pernah kau Cina-kan aku! Di matamu aku Tionghoa, di hatimu aku Indonesia,” pekik Soeria Disastra, sastrawan Tionghoa Indonesia membacakan puisi di mimbar. Tepuk tangan lalu menyeruak, menghela Soeria yang sedang baca ‘Ketemu di Jalan’ soal Gus Dur. Soeria lanjutkan sampai akhir dan mendapat sambutan meriah kembali.

Suasana di atas terjadi di diskusi ‘Gus Dur, Bapak Tionghoa Indonesia’ akhir Sabtu (26/1) lalu. Acara yang bertempat di gereja sekolah BPK 5, Bandung itu dihadiri 130-an peserta. Mereka adalah warga Bandung keturunan Tionghoa, anggota Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, dan lainnya. Acara diadakan oleh Jaringan Kerja Antarumat Beragama dalam mengenang kepergian Gus Dur 2009 lalu.

Saling temu dua kalangan di atas, di gereja pula, adalah potret Bandung yang heterogen namun harmonis. Hal ini seolah ingin meruntuhkan gambaran dari data The Wahid Institute tiga tahun ke belakang. Dalam data itu disebutkan angka tindak kekerasan berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Di Jawa Barat, dengan Bandung sebagai ibukota, ada 57 di 2010, naik jauh hingga 128 di 2011, dan turun ke 102 di 2012.
Gambar Pecinan Bandung di salah satu publikasi zaman kolonial (sumber aleut.wordpress.com)
Salah satu seteru SARA antara warga keturunan Tionghoa dan pribumi di Bandung pernah terjadi 40 tahun lalu. Saat itu 5 Agustus 1973 di Pecinan Bandung, pribumi melempari rumah warga dengan kayu dan batu. Dari obrolan yang beredar, kejadian itu berawal dari senggolan gerobak pribumi dengan mobil milik Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana. Sebelum itu, ada juga ketegangan akibat Bandung Lautan Api Maret 1946.

Data di atas akan aneh bila dibandingkan saat etnis Tionghoa datang ke Nusantara tahun 1400 dulu. Dalam buku Gus Dur, Bapak Tionghoa Indonesia ditulis bahwa Kaisar Yung Lo (berkuasa 1403-1424) menugaskan Laksamana Cheng Ho (lahir 1371) membuka jalur dagang ke Asia Tenggara. Kedua pihak lalu membangun kerjasama ekonomi tanpa sekalipun adu senjata. Sejak hubungan baik ini, makin banyak etnis Tionghoa datang ke Nusantara.

Laksamana Cheng Ho (sumber forum.kompas.com)

Ketika pelaut Belanda pertama kali tiba di Banten tahun 1596, mereka melihat ekonomi aktif oleh masyarakat Tionghoa yang telah lama menetap di sana dan berhubungan baik dengan warga setempat. Maka Belanda mengundang warga Tionghoa datang ke Batavia untuk jadi penggerak.

Ryzki, anggota Komunitas pecinta sejarah Aleut!, menambahkan. Bagi Gubernur Jenderal J.P. Coen waktu itu, warga Tionghoa lebih disukai lantaran bukan hanya rajin, juga tidak berperang. Warga Tionghoa kala itu jadi pedagang eceran dari barang yang diimpor Belanda.

Sekilas soal komunitas ini. Komunitas Aleut! adalah komunitas pecinta sejarah. Mereka menelusuri tempat-tempat bersejarah di Kota Bandung dan menceritakan kisah-kisah tempat itu. Mereka mengambil sumber dari berbagai buku.

Ryzki menjelaskan, kota-kota pesisir lain seperti Semarang dan Surabaya, warga Tionghoa sudah banyak yang menetap. Selepas kerusuhan antara pribumi dan Tionghoa tahun 1740, VOC melakukan pembatasan wilayah tinggal. Kawasan untuk warga Tionghoa disebut Chineesche kamp atau pecinan. Di pecinan itu, warga Tionghoa hidup dalam tradisi Tiongkok yang kental. 
Kawasan Pecinan Lama (sumber aleut.wordpress.com)

Buku Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung menyebutkan ringkasnya ada empat masa perpindahan. Abad 17 merupakan masa derasnya kedatangan imigran Tionghoa ke Nusantara, setelah sebelumnya mereka datang secara sporadis dan kontinu dalam jangka waktu yang lama. Dilanjutkan imigrasi tahun 1850-an ketika di Tiongkok berlangsung Perang Candu dan pemberontakan Taiping.

Perpindahan besar terjadi pula tahun 1925-1930 saat kekacauan disertai pertempuran dan perebutan kekuasaan di Tiongkok. Terakhir, eksodus ke Indonesia terjadi tahun 1949 ketika terjadi pertempuran antara komunisme gongchandang dan nasionalisme guomindang.

Berbeda dengan pecinan lain di Pulau Jawa, pecinan Bandung tidak secara tegas diberi gerbang. Hal ini karena Bandung bukan daerah pesisir selayaknya Semarang atau Surabaya. Pembentukkan Pecinan dua kota tadi adalah imigran pertama yang masih memegang kebudayaannya. Sedangkan yang ke Bandung adalah warga atau keturunan dari pecinan-pecinan tersebut.

Gaya orang Tionghoa (sumber aleut.wordpress.com)
Selain itu, sejak pemerintahan VOC, daerah Priangan memang telah tertutup bagi para pendatang. April 1764 dikeluarkan larangan untuk etnis Tionghoa, Eropa atau pun kelompok lain yang bukan penduduk asli Priangan untuk masuk. Karenanya, kedatangan warga Tionghoa ke Bandung adalah kesengajaan Belanda.

Masih penasaran sama Pecinan Bandung? Lanjut di bagian 2


Comments