#KirabCapGoMeh: Barongsay Untuk Semua

Teks dan Foto oleh : Rio Rahadian Tuasikal / @riotuasikal

Kepala naga sebesar satu meter. “Aaaaaaa!” teriak gadis kecil dari tengah kerumunan penonton. Kepala liong yang ada di depannya itu langsung mundur sedikit, kikuk. Seorang peserta parade lalu tersenyum menenangkan gadis tadi, bilang tak apa-apa. Namun gadis tadi tetap tak berkutik, ayahnya hanya bisa mendorongnya dari belakang. 


Pukul empat sore sudah sampai di jalan Sudirman, Kota Bandung Sabtu (2/3) kemarin. Biasanya jalan ini penuh dengan mobil, namun spesial untuk Kirab Cap Go Meh 2013, Sudirman disesaki barongsay. Sebanyak 30 kelompok barongsay dari berbagai kota hadir memenuhi jalan. Mereka membawa barongsay, liong, patung dewa-dewi, lampion, grup musik, serta dupa yang semerbak.

Parade yang diperkirakan berisi 7000 personel itu mulai dari jalan Cibadak. Dari Vihara Dharma Ramsi, mereka berpawai ke Astana Anyar, Sudirman, Kelenteng, Paskal Hyper Square, Gardu Jati dan kembali ke Cibadak. Semuanya adalah kawasan Pecinan Kota Bandung. Dari semua jalan, hanya Sudirman dan separuh Cibadak yang ditutup total. Di sisanya, peserta pawai, penonton, pedagang dan pengendara harus rela berbagi macet.

Acara ini memang menyambut Cap Go Meh yang jatuh 25 Februari lalu. Artinya menutup perayaan pergantian tahun Imlek, yakni 15 hari pasca-Imlek. Sepanjang rute sejauh 2 km itu, barongsay dan liong akan menepi untuk dua alasan. Angpao dan altar.

Bila ada warga yang mengacungkan angpao dari depan tokonya, mereka akan menghampiri. Kadang dibawa masuk pula ke toko itu, keluar dengan angpao. Bila ada altar, baik itu di depan kelenteng atau pun toko, mereka akan melakukan pai. Yakni menunduk hormat beberapa kali. Tiap selesai hormat, mulut barongsay akan diserbu tangan-tangan yang memegang angpao.


Meski barongsay adalah warisan budaya Tionghoa, warga yang hadir amat beragam. Ada yang berkerudung, ada yang berkalung salib, berkulit putih, kuning, hitam, singkatnya heterogen betul. Semuanya kompak bertepuk tangan riuh tiap kali liong selesai beratraksi zigzag atau spiral. Tak hanya penonton, pemain liong pun beragam latar belakangnya, bukan cuma keturunan Tionghoa semata.

Pemandangan ini akan aneh bila melihat catatan kelam Bandung. Mundur 40 tahun lalu, tepat di jalan Astana Anyar. Pernah ada satu seteru berabu SARA antara warga keturunan Tionghoa dan pribumi di Bandung. Saat itu 5 Agustus 1973, pribumi melempari rumah warga dengan kayu dan batu. Dari obrolan yang beredar, kejadian itu berawal dari senggolan gerobak pribumi dengan mobil milik Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di penjuru kota.


Namun, sore ini, semuanya memilih tak peduli catatan keruh tadi. Semuanya bebas-bebas saja berinteraksi di sini. Siapa pun boleh jadi pemain liong, jadi penonton, atau memberi angpao. Termasuk bila tiga suster dari SMA Trinitas di jalan Kelenteng begitu antusias menonton atraksi. Beberapa dari peserta parade mengajak mereka berbincang lalu tertawa.

Ditandai dengan pesta kembang api, parade ini berakhir pukul 8 malam. Di finish jalan Cibadak, suara ledakan berpadu dengan simbal, genderang, juga riuh penonton. Pemain barongsay mulai lepaskan kostumnya, wangi dupa mulai kendur. Semuanya berbaur, aksi barongsay hari ini telah mengayomi segala perbedaan. []

Comments

Post a Comment

Mari berbagi pemikiran