Ramadan dan Arabisasi Budaya

Jika selama Ramadan ini Anda sengaja, atau kebetulan saja, mampir ke mal-mal, Anda tentu melihat warna yang berbeda. Banyak dari mal itu merias dirinya menyambut Ramadan. Kebanyakan riasan itu hadir berupa ornamen di pintu masuk juga gantungan di langit-langit mal. 

Sebut saja mal di bilangan Jl Peta, Kota Bandung. Suasananya amat kentara. Saat kita masuk di pintu utama, kita melihat dua gerbang berwarna krem yang berornamen khas timur tengah. Terletak di antara kedua pintu itu, hadir dua buah patung unta yang siap menyambut kita. Mal ini bahkan menggelar festival budaya Arab selama Ramadan. Contoh lain di tempat sejenis adalah pengelola memasang latar besar bergambar siluet padang pasir dan pohon kurma, ada juga yang gambar piramida.


Pintu masuk mal di Jl Peta, Kota Bandung



Bila kita sejenak berpikir, seraya membenarkan kacamata kita, sebenarnya adakah hubungan Ramadan dengan itu semua? Jawabannya, sebetulnya tidak ada. Semua ornamen tadi adalah identitas budaya Arab. Betul, itu semua bukanlah budaya Islam, tapi budaya Arab. Maka, hadirnya segala ornamen tadi bukanlah Islamisasi, melainkan arabisasi.

Selain dalam hal-hal tadi, budaya Arab sudah masuk secara lebih luas. Mereka hadir dalam banyak aspek sehari-hari saat Ramadan, namun yang paling banyak adalah dua aspek berikut: musik dan pakaian.

Dalam musik, kita mendengar beberapa orang, misalnya rombongan santri pesantren, yang berpawai obor seraya memainkan darbuka, sejenis gendang Arab. Media massa pun ikut ramai dengan membuat banyak acara khusus Ramadan, semisal sejarah, jalan-jalan, kuliner dan bahkan infotainment sekali pun, yang menggunakan musik latar khas padang pasir atau berbahasa Arab. Misalnya musik yang ini.

Dalam pakaian, kita melihat masyarakat kita ikut bersolek. Sejenak kita melihat surban mendadak populer, baik dipakai di kepala atau dikalungkan. Mereka memakainya manakala hendak tarawih ke masjid. Di media, artis perempuan ramai memakai kaftan ‘Syahrini’ atau yang terbaru yakni gamis ‘Ashanty’, semuanya asli Timur Tengah.

Tentu saja tidak semua yang kita lihat itu budaya Arab. Misalnya masih ada beberapa mal yang memakai gambar masjid, kaligrafi dan seni geometri yang memang produk budaya Islam. Namun demikian, sampai di titik ini, jelaslah bahwa arabisasi tetap masif terjadi tiap Ramadan menjelang. Budaya Arab telah mewarnai mayoritas pesona Ramadan. Umat Islam Indonesia hanya kerap tidak menyadarinya.

Kondisi ini sebenarnya bisa dijelaskan. Sebagai sesuatu yang abstrak, nilai-nilai agama kerap menempel pada produk budaya di mana ia dilahirkan. Dalam hal ini, Islam pada budaya Arab. Hal ini membuat Islam dan Arab, dalam batas tertentu, menjadi sulit dibedakan. Meski Islam sudah identik dengan Arab, keduanya tetap saja berbeda. Islam adalah kepercayaan, sedangkan arab adalah kebudayaan.

Penjelasan ini mungkin saja mengejutkan. Namun hal seperti ini amat penting diketahui supaya umat Islam tidak salah kaprah dalam beragama. Jangan sampai umat Islam menyambut Ramadan dengan jadi orang Arab. Itu merupakan tahap awal dari krisis identitas budaya, membuat produk budaya Indonesia jadi tamu di negaranya sendiri.

Tentu saja dibutuhkan pengetahuan, kejelian dan kearifan dalam memilah agama dan budaya. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah berusaha mengenal budaya lain dan budaya kita sendiri. Selain itu, diperlukan perhatian khusus dari tokoh agama dan budayawan mengenai hal ini. Media pun berperan besar dalam membentuk opini masyarakat ini. Semuanya perlu guna membantu umat Islam memilah antara Islam dan Arab. Setelah mengetahui yang manakah Islam yang asli, saatnya umat Islam Indonesia menyelamatkan identitas budayanya. Mencoba jadi Islam yang Indonesia.

Bila hal barusan nampak begitu mengawang dan sulit, ada cara penyelamatan yang konkret dan mudah dilakukan. Yakni simpan dulu surban dan kaftan Anda, kenakan batik terbaik Anda, lalu berjalan bangga saat hendak bertarawih. Silakan dicoba malam ini juga. Tunjukkan Anda bangga menjadi Islam yang Indonesia.***

Comments