Tidakkk! Saya Dikutuk Buku
Pada usia saya yang 20 tahun ini, harus saya akui, saya dikutuk oleh buku. Sejenis kutukan yang membuat kita mencintai buku secara aneh. Betul, saya merasa hubungan saya dan buku adalah sejenis pacaran yang absurd.
Padahal dulu tidak begini. Dulu sekali ketika saya masih mengenyam SD, buku bukanlah sesuatu yang menarik bagi saya. Saat itu, saya bahkan menghina beberapa teman yang amat menyenangi buku. Aneh dan calon berkacamata, saya bilang.
Hingga dua tahun lalu, saya masih bingung saat mendengar seorang teman yang membaca novel. Mereka membicarakan alur ceritanya, penulisnya, bahkan berimajinasi darinya. Bagi saya, itu tak lebih dari kecenderungan krisis identitas.
Namun Tuhan mengutuk saya. Ini pasti karma.
Kini, ada setidaknya seratus judul buku di kamar saya, sejenis perpustakaan kecil pribadi. Di ruang lain ada puluhan sisanya. Buku yang hadir amat beragam. Dari buku ilmiah populer, motivasi, novel, hingga pengembangan diri. Saya bahkan membuat label berukuran 5cm x 5cm untuk semua buku itu. Saya menyusunnya di meja belajar sesuai dengan tema, kadang diubah berdasarkan warna, kadang berdasarkan ukuran, kadang tanpa berdasarkan apa-apa.
Saya membacanya secara acak. Seringanya saya sudah membeli buku baru sebelum buku terdahulu selesai dibaca barang setengahnya. Tiga di antaranya telah saya resensi dan mendapat uang darinya.
Kadang saya sengaja membeli buku hanya untuk satu tugas. Saya akui ini memang hiperbolis, saya juga tidak begitu menyenanginya. Bila ada satu tugas, saya biasanya menerawang buku apa yang pas, saya lantas ke toko buku hari itu juga, dan membeli satu jika ada yang cocok. Beberapa buku itu sempat dipinjam pula oleh teman-teman, lima belum dikembalikan, dua hilang.
Bayangkan saja, kini, setiap malam harus saya habiskan dengan membaca buku, kalau tidak, saya tidak bisa tidur. Lebih jauh lagi, kadang saya harus membawa buku ke dapur saat hendak makan, pun ke ruang keluarga saat berkumpul bersama keluarga, bahkan ke kamar mandi sebelum mencuci muka. Di sana saya membaca buku barang sepuluh halaman. Jika tidak dilakukan, saya bisa malas ke tempat-tempat tadi. Bisakah dibayangkan? Aneh memang.
Seringkali pula saya menolak teman yang mengajak saya ikut ke bioskop, atau sekedar jalan-jalan ke mal, agar menjaga uang tetap awet. Tentu uangnya kelak saya belikan buku. Saya rasa, rata-rata saya membeli satu buku setiap dua minggu sekali. Saya jadi sulit menabung untuk keperluan jalan-jalan.
Hal aneh lainnya yakni saya punya kecenderungan aneh untuk menebar buku saya di banyak tempat. Buku-buku yang sudah saya beli itu akhirnya menumpuk di kamar, ruang keluarga dan meja tamu. Mereka tergeletak, terbuka dan kadang terlipat. Berserakkan di mana-mana. Bukan ide yang baik untuk desain interior. Ibu saya kerap mengomel karenanya.
Ada yang aneh lagi. Kadang saat saya sedang membaca buku, tiba-tiba saya ingin berfoto dengan buku itu. Sejenis narsis, tapi ini berhubungan dengan kecintaan absurd pada buku. Kini saya punya beberapa foto mesra saya dan buku.
Yang satu ini paling aneh. Ada masanya, ketika saya pergi tanpa membawa buku dan mengalami sejenis sakaw. Saya gelisah, saya jadi tidak fokus, yang saya pikirkan hanyalah ingin membaca. Akhirnya, saya melanglang ke toko buku, dan berkeliling menyomot-nyomot belasan buku yang sudah terbuka plastiknya. Bahkan, jika sakaw itu terlalu kronis, saya bisa menghabiskan sejumlah uang untuk membeli beberapa. Dan ini sangat tidak menyenangkan.
Hal aneh lainnya yakni saya punya kecenderungan aneh untuk menebar buku saya di banyak tempat. Buku-buku yang sudah saya beli itu akhirnya menumpuk di kamar, ruang keluarga dan meja tamu. Mereka tergeletak, terbuka dan kadang terlipat. Berserakkan di mana-mana. Bukan ide yang baik untuk desain interior. Ibu saya kerap mengomel karenanya.
Ada yang aneh lagi. Kadang saat saya sedang membaca buku, tiba-tiba saya ingin berfoto dengan buku itu. Sejenis narsis, tapi ini berhubungan dengan kecintaan absurd pada buku. Kini saya punya beberapa foto mesra saya dan buku.
Yang satu ini paling aneh. Ada masanya, ketika saya pergi tanpa membawa buku dan mengalami sejenis sakaw. Saya gelisah, saya jadi tidak fokus, yang saya pikirkan hanyalah ingin membaca. Akhirnya, saya melanglang ke toko buku, dan berkeliling menyomot-nyomot belasan buku yang sudah terbuka plastiknya. Bahkan, jika sakaw itu terlalu kronis, saya bisa menghabiskan sejumlah uang untuk membeli beberapa. Dan ini sangat tidak menyenangkan.
Ha..ha..ternyata saya tidak sendirian mengidap penyakit ini. :D
ReplyDeleteBtw, saya suka dengan gaya menulis kamu, Rio.
kapan2 ajari saya yah
dan sesekali mampir ke blog saya
;)