#DiversityYouthCamp: Bukti Soal Perbedaan
Hai apa kabar?
Pernah dengar yang satu ini?
“Sunda itu plin plan, Madura itu arogan”
“Islam itu teroris, homoseksual itu sadis.”
“Cina tukang tipu, Jawa tukang ngadu”
Kalimat semacam itu terlalu sering terdengar di telinga kita. Ya, itulah stereotip. Ketika kita menilai orang berdasarkan identitas sosialnya. Kita mendengarnya di pasar, di rumah, bahkan di sekolah dan kampus, di mana pun.
Sahabatku yang baik,
Sejak kita lahir, kita dicekoki berbagai label soal orang dari budaya lain. Jangan berteman dengan orang Kristen, jangan berteman sama lesbian, apalagi Kristen yang lesbian. Melalui nasihat-nasihatnya, orang tua kita, guru-guru kita, teman main kita, bahkan pemuka agama kita, secara tak sadar telah membuat kita makin intoleran.
Hingga usia dua puluh tahun kini, nasihat sejenis masih saya terima. Selama itu pula, saya melihat berbagai efek besar yang mereka timbulkan. Teror terhadap Syiah di Sampang, perusakan gereja GKI di Bogor, warga Madura di Kalimantan yang bersitegang dengan pribumi, adalah hasil menumpuk dari ejekan sederhana di halaman rumah kita. Ejekan-ejekan yang berubah bentuk jadi pedang dan parang.
Sahabatku yang baik,
Bila sejenak kita berpikir. Adakah ejekan kita pernah terbukti? Nihil. Saya orang Sunda yang berbicara langsung, tetangga saya Batak dan murah senyum. Teman saya, dia Islam dan bukan teroris. Dua teman lelaki saya, mereka berpacaran sebelum akhirnya putus, mantan pacarnya tinggal di Surabaya masih hidup sampai sekarang. Teman saya Cina dan punya timbangan tepat, tanpa koin pemberat. Jadi, tak pernah ada bukti pasti soal stereotip. Bila ejekan-ejekan tadi tidak berdasar, lalu apa yang sebenarnya kita permasalahkan?
Sekali lagi saya bilang, tidak ada bukti untuk itu semua, takkan pernah ada. Yang jadi bukti adalah bahwa telah banyak nyawa yang hilang, rumah yang dibakar, dan hati yang terhina. Mengapa kita harus membayar sebegitu mahal? Melihat hal itu, masihkah kita mau hidup berbekal prasangka dan curiga?
Sahabatku yang baik,
Tiga hari kemarin kita telah banyak dibekali. Dibekali bagaimana hidup damai di Indonesia. Situasi sederhana yang kita alami, semacam mengobrol dengan orang Kristen, berbagi camilan dengan orang Kediri, juga berbagi ruang tidur dengan homoseksual, adalah pelajaran kita yang tak ternilai. Kita mendobrak batas budaya dan berani berinteraksi dengan siapa pun.
Dan di hari terakhir ada satu bukti yang kita buat bersama. Bukan bahwa Sunda itu plin plan atau Madura itu arogan. Bukan soal itu. Tapi bukti bahwa perbedaan itu patut kita rayakan. Dan bukankah kita berhasil melakukannya?
Terimakasih untuk sahabat
Salam, wassalamualaikum, om santi santi santi om
Pernah dengar yang satu ini?
“Sunda itu plin plan, Madura itu arogan”
“Islam itu teroris, homoseksual itu sadis.”
“Cina tukang tipu, Jawa tukang ngadu”
Kalimat semacam itu terlalu sering terdengar di telinga kita. Ya, itulah stereotip. Ketika kita menilai orang berdasarkan identitas sosialnya. Kita mendengarnya di pasar, di rumah, bahkan di sekolah dan kampus, di mana pun.
Sahabatku yang baik,
Sejak kita lahir, kita dicekoki berbagai label soal orang dari budaya lain. Jangan berteman dengan orang Kristen, jangan berteman sama lesbian, apalagi Kristen yang lesbian. Melalui nasihat-nasihatnya, orang tua kita, guru-guru kita, teman main kita, bahkan pemuka agama kita, secara tak sadar telah membuat kita makin intoleran.
Hingga usia dua puluh tahun kini, nasihat sejenis masih saya terima. Selama itu pula, saya melihat berbagai efek besar yang mereka timbulkan. Teror terhadap Syiah di Sampang, perusakan gereja GKI di Bogor, warga Madura di Kalimantan yang bersitegang dengan pribumi, adalah hasil menumpuk dari ejekan sederhana di halaman rumah kita. Ejekan-ejekan yang berubah bentuk jadi pedang dan parang.
Sahabatku yang baik,
Bila sejenak kita berpikir. Adakah ejekan kita pernah terbukti? Nihil. Saya orang Sunda yang berbicara langsung, tetangga saya Batak dan murah senyum. Teman saya, dia Islam dan bukan teroris. Dua teman lelaki saya, mereka berpacaran sebelum akhirnya putus, mantan pacarnya tinggal di Surabaya masih hidup sampai sekarang. Teman saya Cina dan punya timbangan tepat, tanpa koin pemberat. Jadi, tak pernah ada bukti pasti soal stereotip. Bila ejekan-ejekan tadi tidak berdasar, lalu apa yang sebenarnya kita permasalahkan?
Sekali lagi saya bilang, tidak ada bukti untuk itu semua, takkan pernah ada. Yang jadi bukti adalah bahwa telah banyak nyawa yang hilang, rumah yang dibakar, dan hati yang terhina. Mengapa kita harus membayar sebegitu mahal? Melihat hal itu, masihkah kita mau hidup berbekal prasangka dan curiga?
Sahabatku yang baik,
Tiga hari kemarin kita telah banyak dibekali. Dibekali bagaimana hidup damai di Indonesia. Situasi sederhana yang kita alami, semacam mengobrol dengan orang Kristen, berbagi camilan dengan orang Kediri, juga berbagi ruang tidur dengan homoseksual, adalah pelajaran kita yang tak ternilai. Kita mendobrak batas budaya dan berani berinteraksi dengan siapa pun.
Dan di hari terakhir ada satu bukti yang kita buat bersama. Bukan bahwa Sunda itu plin plan atau Madura itu arogan. Bukan soal itu. Tapi bukti bahwa perbedaan itu patut kita rayakan. Dan bukankah kita berhasil melakukannya?
Terimakasih untuk sahabat
Salam, wassalamualaikum, om santi santi santi om
Foto oleh : @StaraMuda
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran