Ada Ceria di Kolong Pasoepati
Foto oleh : Revino Tryantito
Jika Anda lewat kawasan Balubur Bandung, tentu Anda akan melihat tiang pondasi Pasoepati yang dihiasi mural warna-warni. Jika Anda penasaran, atau sekadar iseng saja, menelusuri bagian kolong jembatan itu, Anda akan sampai di sebuah taman, tempat beberapa orang bercengkerama. Makin ke bawah, setelah turun sekian banyak, siapa sangka Anda akan menemukan sebuah lapang. Sebuah lapang futsal sederhana.
Suasana Lapang Kolong Pasoepati (foto: Rio Rahadian) |
Lapangan kecil itu tampak mencolok. Lapang yang beralaskan karet hitam dan disekati oleh triplek tebal ini dihiasi logo para sponsor, tempat bendera merah putih ditegakkan di sampingnya.
Lapang tersebut berada di tengah-tengah perempatan Tamansari dan perempatan Cihampelas. Lokasinya tepat di bawah tiang pemancang utama yang, jika kita lihat dari atas, berdiri menjulang setinggi 40 meter dengan ujung filon oranye yang kini jadi lambang jalan layang ini.
Di
lapangan berukuran 20 x 12 m dan dilengkapi dua gawang setinggi 1 m itu
terlihat tiga anak lelaki sedang bermain bola, mereka adalah Alif (5),
Naya (5) dan Fian (4). Dengan cekatan, mereka menggiring dan men-dribble
bola karet kecil berwarna kuning. Tak lama datanglah Faroq (6) yang
akrab dipanggil Ayok melengkapi permainan mereka. Diselangi teriakan
berbahasa Sunda, mereka bergantian menendang bola ke gawang.
Pemain baru datang, kali ini Yoga (6) dan perempuan berambut panjang bernama Rahma (9). Meski perempuan sendirian, Rahma tak mau kalah. Mereka menggiring bola bergantian, berunding, gambreng ulang, berbagi kelompok dan bermain lagi.
Pemain baru datang, kali ini Yoga (6) dan perempuan berambut panjang bernama Rahma (9). Meski perempuan sendirian, Rahma tak mau kalah. Mereka menggiring bola bergantian, berunding, gambreng ulang, berbagi kelompok dan bermain lagi.
Yoga menendang, Rahma jaga gawang |
Sesekali
mereka menendang terlalu tinggi hingga bola keluar lapangan. Jika di
tempat bola jatuh itu sedang ada orang, mereka akan berteriak minta
tolong. Jika tidak, salah satunya akan berbaik hati mengambil bola.
Sepanjang permainan kadang ada pula yang jatuh, namun alih-alih
menangis, mereka malah tertawa dan kembali bermain.
“Ahh maneh mah tara ngoper!” (Ahh, kamu tidak pernah mengoper) protes Fian pada kelima temannya. Fian cemberut, teman-temannya menyeru Fian bermain lagi. Fian malah memukul Rahma yang menghampiri. Tak lama, keenamnya larut dalam permainan kembali.
Satu jam berlalu dan kini mereka pulang satu per satu. Fian adalah yang pertama. “Udahan dulu main bolanya, aku mah dimusuhin,” ujar Fian saat kami tanya kenapa ia keluar lapang. Naya dan Alif pulang kemudian. Tersisa Ayok dan Yoga duduk beristirahat yang lalu kami ajak berbincang, sementara Rahma pergi membawa bola yang lebih besar.
Satu jam berlalu dan kini mereka pulang satu per satu. Fian adalah yang pertama. “Udahan dulu main bolanya, aku mah dimusuhin,” ujar Fian saat kami tanya kenapa ia keluar lapang. Naya dan Alif pulang kemudian. Tersisa Ayok dan Yoga duduk beristirahat yang lalu kami ajak berbincang, sementara Rahma pergi membawa bola yang lebih besar.
Yoga mengocek bola |
Kalau tengah hari sudah lewat, giliran anak-anak yang lebih besar main di lapang. Akhir minggu giliran anak-anak sekolah sepakbola. Kadang ada turnamen juga, Yoga bercerita. Yoga dan timnya saat itu jadi juara kedua.
Seiring dengan datangnya Rahma membawa bola besar, Yoga dan Ayok kembali memasuki lapang, bersiap bermain lagi. Mereka bergantian jadi penendang dan kiper. Ketiganya bermain seraya melayani pertanyaan kami sambil sesekali menoleh ke kamera saat kami foto.
Siang-siang, hampir setiap hari, saat ratusan mobil dan motor berlalu lalang di sekitar tiang pemancang utama Pasupati, tepat di bawahnya anak-anak dari keluarga biasa seperti Yoga dan Fian, memilih bermain bola di lapang sepanjang siang. Bukan di sarana olahraga futsal dengan uang sewa, bukan di sarana berbayar jenis lainnya, cukup di lapang kolong Pasupati saja. []
_____________________
*Tulisan ini adalah tugas Penulisan. Diliput bersama Revino Tryantito dan Arif Firmansyah. Dimuat dengan beberapa perubahan.
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran