Yuk Cicip Makanan Legendaris di Bandung (2)
“Bandung itu memang Kota Kuliner, gedung pemerintahannya saja ada satenya”.
Demikian ujar Gilang Bhaskara dalam acara Stand Up Comedy Kompas TV
bulan lalu. Mendengarnya teman-teman pasti setuju. Bagaimana tidak?
Bandung memang memiliki segudang tempat kuliner, beberapa di antaranya
bahkan sudah ada sejak 1920-an. Nah, mau tahu apa saja kuliner
legendaris Kota Kembang ini? Yuk ikut perjalanan saya bersama Komunitas
Aleut! Minggu (14/7) kemarin.
[Sambungan dari bagian (1)]
Masih di Jl Alkateri, kami menemukan kedai (6) Kopi Purnama. Menurut
seorang pegiat Aleut, tempat ini dulunya jadi tempat nongkrong
pengusaha sekitar pasar baru kini. Mereka berbincang soal bisnisnya dari
pagi hingga sekitar jam 10 siang. Oh ya, kopi di sini memakai kopi dari
Kopi Aroma, pabrik kopi jadul tak jauh dari situ.
Kopi Purnama tampak depan |
Kami beriringan lagi, kali ini berdesakkan ria di penuhnya Pasar Kota Kembang. Kami sengaja memotong jalan, untuk segera ke lokasi selanjutnya yakni (7) Pisang Simanalagi. Toko yang berdiri sejak 1948 ini menjual berbagai gorengan seperti bakwan, combro dan berbagai kue basah. Namun teman-teman harus beli andalannya yakni pisang goreng. Satu buahnya cukup mahal, seharga 2500 , tapi memang sepadan. Pisang gorengnya tidak basah berminyak. Saat digigit, kulitnya tebal dan kriuk sekali. Gigit lebih dalam, pisangnya langsung mengeluarkan rasa manis yang lumer, tak ada kecut atau sepat. Pisangnya berwarna sedikit oranye dan empuk sekali, hanya sedikit mengunyah dan pisangnya sudah menari di lidah. Di sini juga, untuk pertama kalinya selama hidup, saya minum sarsaparila yang rasanya mirip-mirip balsam.
Pisang Simanalagi, pisang goreng mahal |
Sarsaparilla, minuman rasa balsam |
Tak jauh dari situ, hanya lewat satu perempatan, kami singgah di (8) Toko Sidodadi.
Tempatnya masih otentik, dengan papan nama yang sudah kotor. Toko ini
dulunya menjual roti-roti buatan sendiri. Roti-rotinya masih ada hingga
kini, namun sekarang toko ini juga menjual makanan dan minuman kemasan
yang modern. Jika kita lihat bungkus rotinya, ada yang menarik.
Perhatikan seksama tulisan ini: Jadilah Peserta KB Lestari. Ini kan
program era Soeharto, benar-benar otentik ya?
Tampak depan Toko Sidodadi |
Roti moka, mudah digigit dan ada potongan cokelat di dalamnya |
"Jadilah peserta KB Lestari" |
Selepas berfoto di situ, kami berjalan menyusuri Jl Kalipah Apo, lalu berbelok dan keluar di (9) Kawasan Cibadak. Kawasan ini masih area pecinan, dengan ruko-ruko yang khas. Jika kita berjalan di trotoar dan melihat sekeliling, kita akan menemukan cermin-cermin yang ditaruh di atas pintu, itu lambang keberuntungan bangsa Cina. Di sini, Salman bercerita mengenai makanan warisan Cina di Indonesia, diantaranya bakso, bakpao, bakcang dan lainnya. Reza melanjutkan, awalan ‘bak’ berarti babi, namun karena penduduk Indonesia mayoritas menganut Islam, daging babi diganti jadi daging sapi. Pada malam harinya kawasan ini akan ramai dengan pedagang kaki lima. Mereka menjual aneka masakan seperti nasi goreng, kwetiau dan lainnya.
Kawasan Cibadak |
Usai
perjalanan yang menggendutkan perut dan menguruskan dompet ini, kami
melakukan sharing pengalaman. Berbagai pendapat keluar dari mulut
masing-masing, tapi intinya adalah kami semua senang. Kami semua senang
kuliner Bandung. Ya, Itulah Bandung, Kota kuliner bagi siapa saja. Mulai
dari makanan kelas atas warisan Eropa, hingga makanan rakyat warisan
etnis Tionghoa. []
Terimakasih untuk Aleut atas ngaleut kuliner ini.
Terimakasih untuk Aleut atas ngaleut kuliner ini.
Comments
Post a Comment
Mari berbagi pemikiran